Mohon tunggu...
Nadim AlLande
Nadim AlLande Mohon Tunggu... Penulis - Study Sosiology

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang. Bercita-cita ingin abadi, dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keseimbangan Iman dan Ilmu

26 Januari 2020   14:29 Diperbarui: 26 Januari 2020   15:26 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nadim Al-Lande Seketaris Umum Komisariat Stisipol RH--dokpri

"kamu adalah esensi, sementara dua dunia itu adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,dan esensi yang kamu carik dari aksiden sama sekali tak berharga. Tangisilah orang yang mencarik Ilmu dalam hati. Dan tertawalah pada orang yang mencarik akal dalam jiwa.".Jalaludin Rumi.

Ketika kita belum mampu mengenal diri kita sendiri. Selama itu pula kita tidak akan pernah mampu sampai, pada puncak kenikamtan-kenikamatan yang abadi. Kata-kata ini seperti tidak asing. Inilah kata-kata yang sering diucapkan oleh sebagian para filosop dunia salah satunya Socrates.

Dengan demikian, ungapan ; "barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhanya". Menjadi perdebatan yang panjang. Salah satunya pertanyaan di muka adalah apakah sebagian dari struktur indivindu manusia adalah sebagian dari entiti tuhan? Ataukah jangan-jangan manusia adalah satu realita dari zat tunggal di alam semesta? Tentu pertanyanya-pertanyan ini berangkat atas keterbingungkan yang dilontarkan ungapan diatas. 

Menurut Jalaludin Rumi, ungkapan itu berbicara tentang jiwa, tapi hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah. Jika kita menafsirkan ungkapan itu dengan jiwa, maka pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk pada jiwa tersebut karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. sebagai contoh, jika kamu memegang sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak sesuatu yang baik, kecil ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu adalah milik benda itu sendiri. kata- kata saja tidak bisa mengungkapakan pemahaman spiritual ini; kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal terhadap pendengarnya.

Sedangkan bagi Nietzsche dengan konsepsinya yang terkenal bahkan viral di jagat eropa adalah bahwa "God Is dead". Artinya "Tuhan Sudah Mati". Kata-kata ini merupakan kata-kata metafora. Tuhan sudah lama mati dan manusia adalah pembunuhnya. ungkapan yang paling radiakal ini mempunyai makna bahwa "sifat ke akuan, egoisme, merasa paling benar, hawa nafsu,banyak keinginan, dan yang bersifat merasa lebih.

Menurutnya sifat-sifat inilah manusia sengaja mematikan Tuhan dan menyembah berhala-berhala dalam diri mereka masing-masing. kesamaan dengan bahasa yang berlainan ini, Mungkin kurang lebih sama dengan yang dimaskud oleh Jalaludin Rumi. Bahkan rumi menyebutnya dengan sebutan "manusia adalah binatang yang berbicara". Dari sini dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan.

Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewananya di dunia yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan-harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusian berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kemampuan mengenal Tuhan. Kecenderungan yang kedua inilah yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat kehewanan dalam diri manusia membuat pergi dari Tuhan, sementara sifat kemanusaian dalam diri manusia menjauh dari dunia.

Untuk itu kenalilah dirimu? Siapa aku? Siapa dirimu? Apa tujuanmu? Dan Siapa Tuhanku? Jawablah dihatimu dan temukan!

Pada intinya ketika kemauan dan harapan untuk menajdi seperti apa yang dicita-citakan seperti itu. Sejatinya masih bisa disebut belum memahami makna dari kehidupan yang sejati, maka Tuhan tidak akan pernah kita temukan, dan solat hanya jadi gerakan olahraga bukan sebagai maknaan spiritual untuk menuju kerinduan sang ilaiah.

Namun dalam praktek agama tidak serta merta hanya soal trancenden semata, ada hal-hal lain yang lebih substansial sebagai manusia yang sebernya adalah tangung jawab manusia seabagai "khalifa fill ard", pemimpin dimuka bumi. Maksudnya adalah keagamaan tidak mesti soal hubungan vertical antara manusia dan tuhan, namun harus diimbangi dengan realitas yang horizontal antara sesama manusia, bahu membahu sekalipun berbeda keyakinan. Ini yang kalau didalam bahasa agama disebut habluminallah dan habluminanas. Kedua inilah harus diselaraskan didalam kehidupan umat beragama terutama islam itu sendiri. agar islam benar-benar agama yang benar rahamatan lil alamain(inklusif).  

Hal yang sampai saat ini belum saya pahami adalah "praktik" dari sebuah konsepsi yang di sebut "Quantum Ihklas". hakikat ikhlas secara ontologis itu sendiri seperti apa? Secara teori mungkin kita akan menumkan, namun secara praktik sulit untuk diterapkan. Dan ini harus kita pecahkan secara bersama. Kuat dugaan saya di dalam praktek ke-Ikhlasan adalah salah satu jalan untuk menuju kerhidoan Allah. (walahualam bi sowab).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun