Mohon tunggu...
TheBigBrother
TheBigBrother Mohon Tunggu... Freelancer - Penyedia Informasi dan Berita dari Dunia untuk Indonesia

Jurnalis media independen.Meliput berbagai permasalahan dunia dan siap menyajikan anda dengan berbagai macam topik berita mulai dari pemerintahan sampai transportasi,dan politik sampai ekonomi.Memiliki visi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mengerti dan memahami kondisi dan lingkungan di luar negaranya sehingga menghargai perbedaan dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa dangan misi untuk menghasilkan berita yang netral dan dapat dipercaya masyarakat Indonesia dan menjadi pemimpin dalam bidang blog berita

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kanada, Masihkah Bisa Menjadi Panutan dalam Toleransi Antar Agama?

4 Juli 2019   20:49 Diperbarui: 5 Juli 2019   09:04 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah menjadi berita utama pada tahun 2017 setelah pembunuhan mengerikan 6 umat Muslim di sebuah masjid di Quebec,Kanada; provinsi ini sekali lagi menghadapi perdebatan setelah meloloskan Undang-Undang 21,sebuah undang-undang kontroversial yang jika lolos di Parlemen akan membatasi pekerja sektor publik untuk menampilkan simbol-simbol agama di tempat kerja mereka.

Lolosnya Undang-Undang 21 ini membuat Quebec menjadi Provinsi Kanada itu menjadi yang  pertama kalinya  di Benua Amerika Utara yang melarang jilbab dan Niqab bagi staf pemerintah setelah pada tahun 2007, Quebec yang saat itu dikuasai Partai Liberal gagal meloloskan UU no 62 yang melarang segala atribut yang dipakai untuk menutupi wajah (apakah Balaclava termasuk?) dari memakai segala pelayanan publik. 

Seperti banyak larangan pada simbol-simbol agama, yang satu ini, secara teori, juga akan menargetkan semua pemakai Sorban dan Kippah (topi bagi penganut agama Yahudi). Dalam praktiknya, semua wanita Muslim yang mengenakan Jilbab akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Undang-undang yang diusulkannya ini mungkin terlihat kecil bagi Amerika,mungkin juga dianggap remeh.Tapi jika UU ini berhasil lolos di Parlemen Quebec,maka Quebec akan bergabung bersama Austria, Denmark, Prancis, Belgia, Latvia, Bulgaria, dan Belanda dalam plarangan pemakaian jilbab dan niqab di tempat umum. 

Memahami dinamika yang telah memunculkan larangan Eropa --- pengarusutamaan kefanatikan, penargetan wanita Muslim, dan dampaknya pada Muslim lokal --- menyoroti apa yang dipertaruhkan dalam undang-undang Kanada yang tertunda. 

Serangan terhadap ras atau agama minoritas dari Quebec juga menyebar cepat ke Christchurch, Selandia Baru; ke Charleston, Oak Creek, Pittsburgh, dan Poway juga di Amerika dilakukan oleh organisasi2 sayap-kiri politik yang terorganisir/kelompok supremasi kulit putih. 

Bagi mereka yang menganut kepercayaan kekuasaan kulit putih,orang-orang Yahudi; Muslim; dan LGBT disebut sebagai penjajah yang secara teoritis memadamkan ras kulit putih. Kelompok Anti-Semitik  dan penganut Islamophobia adalah jantung dari ideologi supremasi kulit putih.

Tetapi ini bukan hanya kelompok pinggiran atau ideologi pinggiran. Pemimpin Partai Konservatif Kanada Kanada dan calon terdepan dalam perebutan perdana menteri Oktober ini, Andrew Scheer, telah berkerumun di ujung kanan, dan nasionalis kulit putih, pendukung sepanjang karirnya, dan politisi sayap kanan Eropa termasuk Marine Le Pen dari Prancis di Estonia telah menuai kritik karena menggunakan gerakan yang terkait dengan supremasi kulit putih. 

Tersangka dalam penembakan di sinagoga bulan April di Poway, California, mengutip tulisan suci dari Evangelisasi Kristen sebagai pembenaran atas kejahatannya. Jajak pendapat yang diambil dalam beberapa tahun terakhir oleh Pew,  sebuah Institut Kebijakan Sosial dan Pemahaman  menunjukkan bahwa 44 persen orang Kristen Amerika Evangelikal, 49 persen orang Kristen Eropa yang rajin ke gereja, dan 40 persen orang Konservatif Kanada berpegang pada nasionalis dan anti-Muslim dilihat.

Wanita Muslim menghadapi beban kefanatikan Islamofobia. Mereka yang mengenakan Jilbab,Niqab, dan Burqa, menjadi target yang rentan akan kekerasan. Selama berabad-abad, banyak cendekiawan Barat, penatua gereja, dan pemimpin politik membenarkan serbuan kolonial dan kekaisaran dengan seruan untuk menyelamatkan perempuan Muslim dari laki-laki Muslim, dengan menyebut kerudung sebagai simbol penindasan. 

Sebaliknya, dalam wacana politik dan populer di Eropa dan Quebec selama dekade terakhir, Jilbab dan Niqab datang untuk melambangkan terorisme, sehingga merekonstruksi perempuan Muslim dari sebab musuh, dari korban penaklukan menjadi teroris yang kuat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun