Mohon tunggu...
Dannu W
Dannu W Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Natural Talent

Suka nulis, fotografi, bersepeda, kadang nongkrong sambil ngopi kalau gak ada ganti teh anget

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan featured

Kenapa Jangan Marah-marah Ketika di Jalanan?

27 September 2018   09:06 Diperbarui: 8 Februari 2019   13:38 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(thecarexpert.co.uk)

Hampir setiap hari sebagian waktu yang saya miliki saya habiskan di jalanan. Perjalanan dari rumah ke kantor untuk sekali pergi jaraknya kira-kira 15 kilometer.

Kalau dikonversikan dalam bentuk waktu, dengan roda dua bermesin sekitar 50-60 menit. Kalau roda empat bermesin bisa lebih dari 90 menit.

Bahkan beberapa waktu lalu mencapai 120 menit untuk satu kali jalan. Belum lagi kalau perut keroncongan, bisa jadi lebih dari itu. Jika dikonversikan lagi dengan energi yang dihabiskan, sepertinya saya tidak terlalu faham betul karena itu bukan intinya.

Setiap hari saya kerap kali melewati jalan yang sama untuk pulang-pergi dari rumah ke kantor. Banyak sekali pengalaman berkendara yang saya alami.

Pernah beberapa kali saya merasa kesal pada beberapa pengendara roda dua bermesin ketika saya menggunakan roda dua tanpa mesin (sebut saja sepeda). Dalam 1 minggu, ada 1-2 kali saya bersepeda dari rumah ke kantor. Pulang pergi! 

Ada yang bilang kalau saya itu gila. Beberapa bilang kagum sekaligus nyeleneh. Hitung saja jarak 15 km sekali jalan, 30 km pulang pergi. Jarak seperti itu kalau dihitung di kota Bandung itu dari Cimahi sampai Ujung Berung. Mungkin kurang atau lebih. Tapi bukan itu cerita inti dari tulisan ini. 

Saya pernah memarahi (dibaca: membentak) seorang pemuda dengan pakaian putih abu. Sudah dipastikan dia anak SMA.

Saya bentak dia karena dia menyenggol sepeda saya hingga saya jatuh. Wajar kan, dibuat jatuh saya emosi.

Saya marah sejadi-jadinya layaknya seorang goweser yang ingin dihormati oleh pengendara lain tapi kehormatan saya direnggut secara paksa (macem apa ini bahasa). 

Saya berhenti mencaci-maki ketika dipisahkan oleh seorang penjual bubur keliling. Beliau mencoba menenangkan saya dengan memberi segelas air murni. Banyak sekali kerumunan orang di situ karena memang saya "tersenggol" di tempat yang sedang ramai. 

Bahkan ada yang sengaja turun dari kendaraannya untuk melihat, "Ada tubir-tubir apa ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun