Minggu-minggu ini media diramaikan oleh berita MBG yang terus memakan korban di kalangan siswa sekolah. Warta-warta seputar makanan basi, berbau, berulat, dan timbulnya keracunan hingga sebagian siswa terpaksa dibawa ke rumah sakit. Â Harian Republika daring (24/09/25) mengutip ucapan Didi Suhardi, Kepala SDN Bedahan 04, Kota Depok. "Ya itu paling kasusnya makanan agak bau. Â Bahkan itu ada ulatnya."
Harian Tempo daring (24/09/25) melaporkan lonjakan kasus MBG dalam dua bulan terakhir. Â Jumlah korban siswa secara nasional diperkirakan mencapai 5.000 orang. Â Angka ini merupakan rata-rata dari tiga lembaga yakni Badan Gizi Nasional (BGN), Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).Â
Kendati demikian, Kepala BGN Dadan Hindayana ogah menghentikan program nasional ini. Ia katakan kebijakannya sampai hari ini adalah tetap melanjutkan program manfaat MBG sambil terus melakukan perbaikan. Â
Menanggapi maraknya kasus-kasus MBG, Wakil Ketua Komisi IX Charles Honoris menekankan perlunya MBG dievaluasi, yang melibatkan masyarakat sipil beserta tenaga kesehatan dan ahli gizi. Tanggapannya senada dengan mantan Direktur Penyakit Menular Tjandra Yoga Aditama.  Ia menyarankan agar  dilakukan peninjauan atas program MBG, dari sisi pengorganisasian, pengelolaan dan manajemen.  Selain dilakukan monitoring dan evaluasi yang melibatkan lintas sektor (Harian Kompas 23/09/25).
Tak sebatas media dalam negeri, media asing pun turut menyoroti soal MBG, antara lain  Reuters, The Guardian dan The Straits Time.  Berita MBG rupanya telah terbang jauh sampai ke mancanegara.
Dari dapur MBG, kita bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan timbulnya keracunan di banyak daerah.  Pertama, kotoran yang masih menempel di nampan setelah dicuci akibat  keterbatasan air dan pengeringan tanpa lap bersih.  Kedua, rendahnya  mutu bahan baku makanan. Ketiga, makanan yang belum matang secara sempurna akibat terburu-burunya proses memasak demi mengejar waktu saji.
Tak seorang pun yang meragukan niat baik MBG. Â Program nyata untuk meningkatkan gizi siswa sekolah di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Â Namun, beberapa kendala teknis ternyata merusak program ini sehingga menimbulkan korban keracunan siswa sekolah di banyak daerah.
Kalangan orang tua yang anaknya menjadi korban keracunan kini mulai resah. Â Di antara mereka ada yang hendak mengajukan tuntutan secara hukum kepada pelaksana MBG atas dasar pasal kelalaian. Â Ada yang menghendaki supaya MBG merupakan program pilihan sukarela, bukan program wajib. Â Selain usulan untuk menyetop sementara MBG.
Ada ungkapan Jawa yang relevan untuk permasalahan MBG. Isin mundur atau malu mundur. Ungkapan yang ditujukan untuk orang-orang yang sok gengsi mengakui kesalahannya. Atau, untuk mereka yang terus melakukan tindakan salah karena tak mau kehilangan muka.
Jangan isin mundur, ah! Â Keselamatan siswa bagaimanapun mesti ditempatkan di urutan teratas. Mereka bukanlah objek penelitian berjudul "Dampak Makanan Bergizi terhadap Kecerdasan Siswa." Mereka adalah makhluk bernyawa yang layak dijaga keselamatannya. Â Moratorium sementara MBG untuk evaluasi yang menyeluruh bukanlah aib, justru langkah arif yang terpuji.Â
HMS**25 September 2025