Mencintai Juventus itu sulit, tetapi sekali kau mencintai Juventus, kau akan menjadi Juventino selamanya.
Kalimat romantis di atas tentu bukan keluar dari seorang fans Juventus kaleng-kaleng seperti saya, yang baru menggilai klub berjersey ala kantong kresek warung ini, sejak Del Piero masih seusia Iqbaal CJR. Kalimat tadi juga mustahil terlontar dari para glory hunter dadakan, yang tiba-tiba menjadi fans Juventus, semenjak Cristiano Ronaldo resmi bergabung.
Adalah Zinedine Zidane, seorang legenda sepakbola asal Perancis yang kini melatih klub terbaik di dunia, Real Madrid, yang secara mengejutkan membuat pernyataan semanis tadi.
Saya tentu tak perlu membuat beberapa alinea untuk memperkenalkan sosoknya. Sedikit clue saja, mantan pesepakbola ini merupakan salah satu pemilik gelar terlengkap di muka bumi, kecuali trofi Piala AFF tentunya.
Zidane tak asal bicara, mencintai Juventus memang tak semudah jatuh cinta pada Real Madrid, Barcelona, ataupun Manchester United City. Seumur-umur saya menggilai klub ini, saya tak sekalipun mendapatkan kesan dengan permainan sepakbola indah yang disuguhi oleh si nyonya tua. Juve lebih sering dikenal dengan sepakbola bertahannya yang membosankan, bertele-tele, keras, bahkan sedikit kasar.
Mereka yang jatuh cinta terhadap Juve, tentulah mereka yang memiliki selera sepakbola yang abnormal. Ibarat kata, di luar sana masih ada Luna Maya, para juventini malah terpikat pada Lucinta Luna.Â
Tapi lagi-lagi, ini cuma soal selera 'kan? Kadang penjelasan selogis apapun menjadi tidak masuk akal.
Kalau mencintai Juve sebegitu sulitnya, lain halnya dengan membenci Juve. Kadang, orang tak memerlukan lagi alasan, apalagi penjelasan, untuk sekadar membenci klub ini. Mendengar nama Juventus saja, orang bisa langsung muak, mual. Tak terhitung berapa sumpah serapah dari mereka yang membenci Juve, acapkali Juve dinaungi kesuksesan dan keberuntungan.
Juventus memang menjadi personifikasi ideal dari sebuah gambaran penguasa-yang terlalu luas bentuk kuasanya. Maka tidak heran, ketika Juve tersandung, jatuh, banyak orang bersuka-cita merayakan keterpurukan si penguasa.
Hal tersulit setelah jatuh cinta, ialah merawat cinta itu sendiri. Dan menjadi orang yang ditakdirkan mencintai Juventus, hal ini sungguh sangat menguji kedewasaan. Seumur hidup, saya sudah menyaksikan Juve di 3 laga final Liga Champions yang berbeda. Dan dari ketiganya, tak ada satupun yang berhasil dimenangkan oleh Juventus. Olok-olok soal Badut Eropa, jago kandang & lain sebagainya, sudah jadi makanan sehari-hari.