Mohon tunggu...
Sri Handayani
Sri Handayani Mohon Tunggu... Editor - Social Media Marketing

I like to talk about psychology, education, language, health, art and culture, and technology

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Tarif Taksi Nampol

29 April 2015   05:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Tulisan saya kali ini akan bercerita tentang pengalaman naik taksi. Cerita ini tidak bertujuan untuk menjatuhkan salah satu perusahaan taksi. Saya juga tidak dibayar oleh satu perusahaan taksi pun untuk menceritakan hal-hal bagus tentang satu taksi tertentu. Tulisan ini murni cerita keseharian yang mungkin juga dialami banyak orang lain.

Ceritanya, kemarin saya mendapat tugas menonton seni tradisi ketoprak di Taman Ismail Marzuki (TIM). Serunya, pertunjukan kali ini dimainkan oleh para bankir dan pejabat keuangan. Tentang pertunjukkan ini mungkin akan saya ceritakan lain waktu.

Selesai menonton pertunjukan, saya pulang naik KRL menuju Pasar Minggu. Jam di Hp saya menunjukkan sudah sekitar pukul 24.00 WIB. Saya beruntung mendapatkan KRL terakhir malam itu. Namun, saya tidak beruntung untuk mendapatkan angkot pulang ke kos.

Angkot 36 yang saya tunggu tidak juga datang. Sempat terpikir untuk naik ojek, namun saya takut salah pilih dan dapat begal. Kebetulan, beberapa waktu lalu sempat ada kasus begal di Pasar Minggu.

Sembari menunggu angkot datang, saya memutuskan berjalan kaki dulu. Namun, angkot yang saya tunggu tidak juga datang. Karena hari semakin mendekati pagi, saya memutuskan naik taksi. Taksi apapun, seadanya, pikir saya.

Saya menghampiri satu di antara beberapa taksi yang mangkal. Taksi putih berlambang huruf E. Track record-nya lumayan lah. Saya sudah masuk, taksi berjalan cukup pelan. Mungkin salah saya di sini. Saya seharusnya menyepakati harga dulu di awal.


Setelah taksi berjalan sekitar dua meter, pengemudi taksi berkata, “Tarif biasa aja ya mbak?”
“Oh nggak pakai argo, pak?”
“Biasa mbak taksi mangkal,”
“Kalau nggak pakai argo jadi berapa pak ke Pedjaten Barat?”
Saya menyebutkan lokasi tempat saya berhenti. Saya perkirakan tarif argonya tak lebih dari Rp 10 ribu.
“Cepek,” kata dia.


Walau lumayan lama di Jakarta dan sudah sering mendengar istilah mata uang di sini, saya tidak juga hafal. “Cepek tu berapa, Pak?”
“Mbaknya orang mana?”
“Jawa Pak,”
“Oh dari Jawa? Cepek mbak,”
“Iya cepek tu berapa? Rp 10 ribu?”
“Seratus ribu, mbak,”
“Ah becanda bapak ini. Cuma sampai situ doang masak Rp 100 ribu?”
“Udah biasanya segitu mbak,”
“Ah becanda. Nggak-nggak. Saya turun aja Pak, saya cari taksi lain aja yang pakai argo,” kata saya sembari membuka pintu.

Ia tak tampak hendak menghentikan saya. Saya pun melambaikan tangan ke taksi biru bergambar burung yang lewat tepat waktu.
“Woi woi woi,” teriak teman-teman pengemudi taksi beberapa meter di belakang saya. Saya jadi merasa diteriaki preman. Saya pun buru-buru masuk ke taksi biru.
“Selamat malam, mbak.”
“Malam, Pak. Pakai argo kan?” Tanya saya memastikan.

Setelah yakin, saya pun masuk. Pengemudi itu sempat menanyakan kenapa saya keluar dari taksi sebelumnya. Saya pun bercerita bahwa mereka meminta tarif seratus ribu sampai ke tempat yang saya minta.


Alhamdulillah, pengemudi ini mengantarkan saya tanpa banyak cing-cong. Hingga turun, argo menunjukkan angka Rp 9.100. Sembilan ribu seratus dibandingkan seratus ribu jaraknya bagaikan kos ke stasiun Gambir!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun