Serial Adolescence adalah lebih dari sekadar tontonan. Ia menjadi kaca pembesar atas realitas yang kerap terabaikan: remaja yang diam-diam menanggung luka, sekolah yang tidak responsif, dan masyarakat yang terlalu cepat menghakimi. Film yang disajikan dengan teknik pengambilan gambar kontinu tanpa potongan selama empat episode, penonton diajak menyelami tekanan psikologis Jamie Miller, seorang siswa yang dituduh membunuh teman sekelasnya, Katie.
Di balik kisah kriminal ini tersimpan pelajaran besar bagi dunia pendidikan, khususnya dalam ranah Bimbingan dan Konseling (BK).
Jamie: Wajah Lain dari Anak yang "Diam"
Jamie digambarkan sebagai anak rumahan, pendiam, dan tidak pernah terlibat masalah. Ia bukan tipikal remaja "bermasalah" secara kasat mata. Namun ketika sang ibu berkata, "Dia selalu di rumah, hanya diam di kamar," justru di sanalah letak persoalannya.
Seringkali, kita menganggap anak yang diam adalah anak yang tidak berisiko. Padahal, bisa jadi mereka menyimpan tekanan emosi, kebingungan identitas, atau trauma sosial yang tak pernah tersampaikan. Hal ini menunjukkan bahwa deteksi dini masalah emosional tidak bisa hanya mengandalkan perilaku yang tampak.
Sekolah yang Tidak Responsif: Gagal Baca Sinyal
Ketika penyelidikan polisi dilakukan di sekolah Jamie, suasana yang tergambar sungguh menyedihkan. Siswa saling mengejek, tertawa saat wawancara, bahkan bertengkar di hadapan guru. Tidak ada empati. Tidak ada kepekaan. Lingkungan sekolah digambarkan sebagai ruang yang tidak aman---baik secara fisik maupun emosional.
Bagi guru BK, ini adalah peringatan. Sekolah yang sehat bukan hanya tempat belajar kognitif, tapi juga tempat berkembangnya nilai empati dan moral. Saat suasana sosial memburuk, intervensi BK harus bersifat kolektif, bukan individual semata.
Bullying Digital: Bahasa Simbolik yang Tak Terbaca
Katie, sang korban, kerap menggunakan emoji seperti (red pill) dan (kidney bean) dalam komentarnya terhadap Jamie di Instagram. Ia bahkan melabeli Jamie sebagai "incel"---sebuah istilah yang menyakitkan dalam konteks maskulinitas dan penolakan sosial.
Ini adalah bentuk cyberbullying terselubung, menggunakan simbol-simbol yang hanya dipahami dalam budaya digital. Di sinilah pentingnya konselor sekolah memahami bahasa sosial generasi Z agar mampu mengenali bentuk kekerasan emosional yang tidak eksplisit.
Psikolog dan Proses Konseling: Ketika "Pertanyaan Sulit" Membuka Pintu Batin
Jamie menjalani sesi dengan dua psikolog. Pada psikolog pertama, ia bisa berpura-pura dan memberikan jawaban aman. Tapi pada psikolog kedua, ia mulai merasa terdesak. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit membuatnya frustrasi hingga akhirnya meluapkan emosi secara terbuka.
Adegan ketika Jamie menolak sandwich berisi acar---lalu memakannya setelah ledakan emosi---menjadi simbol ketegangan batin: antara identitas, kontrol diri, dan rasa terpaksa. Banyak yang menilai ini sebagai "tanda bahaya", bahwa Jamie sedang mengalami disorientasi emosional yang dalam.
Penyangkalan dan Rasionalisasi: "Aku Tidak Salah. Aku Benar."
Sepanjang serial, Jamie tidak pernah secara eksplisit mengaku bahwa ia membunuh Katie. Namun ia meyakini bahwa apa yang dilakukannya "benar". Inilah bentuk rasionalisasi ekstrem---mekanisme psikologis yang digunakan untuk melindungi diri dari perasaan bersalah.