Bu Kania mendudukkan anak pertamanya, Bagas, di ruang tamu. Remaja yang tahun ini masuk SMA itu tertunduk sambil memainkan jemarinya. Sementara itu, si bungsu, Lita, mengintip dari balik pintu kamar.
"Kamu tidak ingat nasihat apa.yang sudah sering ibu katakan?" sentak wanita berbaju sederhana bermotif bunga dan bawahan rok hitam bermodel A itu.Â
Bagas mengangguk sekali. Ya, dia ingat. Hanya saja, tuntunan pergaulan memaksanya melanggar nasihat itu.Â
"Jauhi Denis. Sejak dua tahun lalu kamu berteman dengannya, kamu jadi anak nakal seperti ini," pesan bu Kania. "Kalau kamu tidak menuruti nasihat ibu, ibu akan kirim kamu ke rehabilitasi remaja Bima Sakti di Jawa Timur sana!" lanjutnya sembari memberikan ultimatum.
Sontak, Bagas mengangkat kepala. "J-jangan, bu! Iya, Bagas janji."
"Kita lihat saja nanti, kamu sungguh-sungguh atau tidak," cibir janda yang berprofesi sebagai tukang jahit dan penjual kue tradisional Jawa Tengah yang dititipkan di warung-warung tetangga.
Ibu hengkang dari ruang tamu dan Bagas menatap punggungnya sampai hilang di balik kelambu dapur.
Bagas tidak mengira ibunya itu bisa semarah ini. Apa lagi pakai acara mengancam segala. Namun, seketika itu juga dia sadar kalau manusia memang punya batas kesabaran.
Bukankah dia sudah melanggar sebanyak lima kali dan parahnya kepergok orang lain, lalu melapor pada ibunya? Jadi, wajar saja eksekusi itu diterapkan agar dia jera.
Di lain sisi, orangtua 'kan tidak mengerti bagaimana rasanya jika seorang remaja berada di suatu perkumpulan lantas dia sendiri yang tidak mempunyai "alat." Malu sekaligus terasing.
Denis tidak seperti yang dituduhkan. Dia remaja baik-baik, yang sama-sama hobi grafiti seperti Bagas. Kebetulan saja dia sering mengajak pergi atau main ke rumah anak bu Kania. Makannya, dia dicurigai membawa pengaruh buruk.Â