Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Putus Asa adalah Penyesalan Terbesar

27 Januari 2020   14:14 Diperbarui: 27 Januari 2020   14:14 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi via Thinkstock

Putus asa bukan berarti lemah selama bisa bangkit lagi. Kalau disuruh menghitung, sudah tidak terhitung saya melakukan hal tersebut. Bahkan, niatan bunuh diri tentu pernah menyambangi pikiran ini. Lagi-lagi, saya diingatkan oleh banyak hal seperti hipotesis kalau-mati-sekarang-kapan-bisa-berkembang.

Maka dari itu, wejangan "jangan putus asa" terdengar sedikit naif. Setiap orang mempunyai kapasitas dalam menjalani kehidupan. Tidak apa-apa jatuh sesaat asalkan ada niat untuk berdiri kembali. "Tenangkan dirimu dan jadilah kuat," itulah motivasi sesuai ketimbang menyuruhmu langsung pulih.

Pernah mendengar pertanyaan "apa penyesalan terbesarmu dalam hidup?" Kalau saya, saya menyesal sewaktu bla bla bla tidak produktif, sehingga tidak mendapatkan hasil apa-apa di masa sekarang. Namun, pengalaman terbaru saya sontak mengubah pemikiran tersebut.

Putus asa adalah penyesalan terbesar.

Sudah tiga bulan rumah saya kedatangan anggota baru. Dia adalah adik Papa atau bisa saya sebut Oom. Kedatangan Oom sangatlah mendadak, sehingga membuat saya cukup syok meski saat itu saya sedang di kota lain untuk berkuliah. Saya kepikiran akan membuat Mama repot.

Oom kabur dari Lombok. Dia ikut Oom lain saya, karena memang di sana situasi memungkinkan. Lebih-lebih, istri dari Oom adalah perawat dengan spesialisasi kejiwaan. Sang anak pun mahasiswa Psikologi. Suatu hari, dia kabur ke Surabaya, lalu diantarkan oleh saudara ke rumah saya. Oom memang seperti bola pimpong, dilempar sana-sini, saling merasa paling terbebani, sehingga lepas tanggung jawab.

Papa saya kerja di luar pulau, pulang setiap dua bulan. Adik dan saya berkuliah di kota berbeda. Tersisa Mama seorang diri di rumah. Mama pun seorang pekerja, sehingga membuat Oom akan kurang mendapatkan pengawasan. Nah, kenapa saya harus merasa khawatir pada orang dewasa? Bukankah dia bisa menjaga diri?

Oom saya adalah ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Dia sudah mengalami kondisi ini sejak saya kecil. Dua kenyataan pahit menyerang psikis Oom saya, sehingga menyebabkan dia hilang kontrol. Berbagai pengobatan telah dia jalani, tetapi tidak benar-benar bisa kembali seperti semula.

Entah hipotesis saya ini benar atau tidak. Oom saya merasa dia baik-baik saja, tetapi kenyataan tidak seperti itu, bukan? Orang lain adalah indikator. Melihat dia selalu melamun, suka bicara sendiri, mengomel kata-kata buruk, bertingkah seperti anak kecil, dsb. Alhasil, pengobatan menjadi tidak maksimal. Bagaimanapun, perubahan harus dimulai dari diri sendiri.

Saya menaruh perhatian pada isu kesehatan mental, karena saya merasa tidak baik-baik saja. Saya sudah mengalami hal-hal menyakitkan sejak kecil sampai sekarang. Saya selalu dikelilingi manusia-manusia toksik. Saya sampai putus asa akan bertemu orang baik, sehingga memotivasi saya untuk menjadi pribadi welas asih. Saya ingin menciptakan kebahagiaan, bukan sebagai penerima.

Meski saya peduli pada isu kesehatan mental, bukan berarti saya bisa selalu mengurusi perkara-perkara tersebut. Dalam artian, saya harus bersinggungan dengan Oom setiap hari. Bagaimanapun juga, saya pun sedang berusaha keluar dari berbagai trauma. Ditambah lagi, dari perilaku Oom terasa hidup segan mati tidak mau, secara signifikan berpengaruh terhadap semangat saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun