Mohon tunggu...
Hamzah Zhafiri
Hamzah Zhafiri Mohon Tunggu... Kreator konten -

Suka menulis dan bercerita sebagai hobi. Terutama tema politik, bisnis, investasi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaya dan Miskin Itu Fana, yang Nyata Hanyalah Ketimpangan

5 Desember 2018   23:25 Diperbarui: 5 Desember 2018   23:38 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gak ada itu orang kaya, gak ada juga orang miskin. Itu semua cuman konstruksi sosial, yang beneran nyata itu ya ketimpangan yang besar."

Begitu kata dosen saya, Bapak Derajad S. Widhyarto, dalam salah satu kuliah yang saya ikuti di Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Kalimat itu begitu terngiang di benak saya, bahkan jauh sampai saya lulus.

Kaya itu memang seperti apa sih? Penghasilan banyak? Punya rumah dan mobil banyak? Miskin itu juga apa ukurannya? Bank Dunia mendefiniskan garis kemiskinan sebagai berpenghasilan kurang dari dua dolar per hari. 

BPS pernah mendefinisikan kemiskinan sebagai konsumsi nutrisi kurang dari 2100 kalori per hari. Jika kalori tersebut dikonversikan ke porsi makanan serta harga dari makanan tersebut, maka rata-rata bisa didapat bahwa warga miskin adalah mereka yang penghasilannya kurang dari 180 ribu per bulan.

Tentu saja ini adalah indikator yang terlalu sederhana. Maka itu, banyak perhitungan kemiskinan yang bisa diukur tidak hanya dengan uang atau makanan, tapi juga akses pendidikan, kondisi tempat tinggal, sanitasi air bersih, energi listrik, keamanan, dan bahkan terbaru PBB ingin membuat indikator berdasar akses internet.

Guru ekonomi saya waktu SMA juga pernah mengajukan sebuah pertanyaan retorikal. Apa jadinya jika ada orang yang punya sawah dan ternak besar, dan ia hanya makan dari hasil usahanya tersebut, tanpa banyak menjual komoditas usahanya? Berarti, kebutuhan dasarnya tercukupi, tapi penghasilan uangnya akan sangat minim. Apakah ia miskin?

Pada akhirnya, kemiskinan menjadi sulit untuk terdefinisi. Pemerintah negara Tibet pernah membuat indikator kekayaan yang unik: dengan parameter kebahagiaan. Apakah seorang warga ini bahagia dengan hidupnya? Tercukupi kebutuhan dasar lahir dan batinnya? Sehat jasmani dan rohaninya? Indikator ini sempat mendapat pujian dari PBB. Karena indikator ini bisa saja "memvonis" orang dengan banyak materi dunia sebagai "miskin" dan sebaliknya, memvonis orang dengan minim materi sebagai "kaya".

Pada akhirnya, kaya dan miskin bisa jadi hanya asumsi, hanya konstruksi sosial, tapi ada satu hal yang setidaknya bisa terlihat secara nyata: ketimpangan.

Tidak perlu bicara filsafat kaya dan miskin, ketimpangan sesungguhnya memang bicara tentang kepemilikan materi. Ada sebagian orang tertentu yang bisa mendapat materi lebih banyak dan akses kesejahteraan lebih baik daripada sebagian lain. Premis ini lebih mudah dipercaya ketimbang sekedar mengatakan, ada orang kaya dan ada orang miskin.

Dalam tradisi pemikiran Marxis, ketimpangan terjadi antara kaum borjuis dan kaum proletar. Antara mereka yang punya akses atas alat produksi dan mereka yang tidak memilikinya, sehingga hanya bisa mengoperasikan alat produksi tersebut. 

Kaum borjuis cenderung hanya memberi upah yang amat sedikit untuk kaum proletar yang telah bekerja mengoperasikan alat produksi untuknya. Upah ini cenderung tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan kaum pekerja proletar. Sementara mayoritas keuntungan jatuh ke kantong kaum borjuis pemilik alat produksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun