[caption id="attachment_94621" align="aligncenter" width="680" caption="headline media cetak jogja soal RUUK (foto : hamzah)"][/caption] Jogja, Kota Republik yang anti Pak Beye. Inilah kesimpulan sementara yang saya peroleh dari perjalanan ke kota itu 4 hari belakangan ini. Keinginan Presiden RI, Pak Beye untuk mengajukan RUU Keitimewaan Jogjakarta untuk dibahas di parlemen, membenarkan opini public bahwa Pak Beye memaksakan kehendaknya untuk ‘menghapus’ tirani monarki yang berlangsung turun temurun dan dihormati warga Jogja itu. [caption id="attachment_94582" align="aligncenter" width="369" caption="menuju kawasan kraton jogja (foto : hamzah)"]
[/caption] [caption id="attachment_94583" align="aligncenter" width="283" caption="Tugu Jogja di malam hari (foto : hamzah)"]
[/caption] Sebagai alasan pembenar dari Saya adalah; sejumlah media cetak local, rata-rata mengambil topic ‘penolakan’ sebagai judul-judul media cetak disana. Semisal Harian Jogja pada jumat lalu mengambil headline dengan judul utama ‘Warga Jogja Geram’. Demikian pula Koran Bernas Jogja menulis headline ‘Gubernur Utama, Jogja Habis’. Hal senada dengan harian Kedaulatan Rakyat yang mengambil tema yang serupa Tentu, ungkapan media lokal Jogja mengenai penolakan terhadap RUUK ini adalah akumulasi keinginan masyoritas Jogja yang mempertahankan system ‘penetapan’ seorang Sultan dan Paku Alam menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jogja seperti yang selama ini berlangsung. Penolakan warga Jogja dengan RUUK tersebut bukan hanya termuat di media massa local. Sejumlah masyarakat pun ramai-ramai memasang spanduk dan baliho, yang intinya menginginkan ‘Konsistensi’ Ijab Kabul yang pernah dibangun antara Sultan Jogja HB-IX dengan Presiden Sukarno 15 September 1945 silam. Memang, tidak ada kata-kata ‘Anti Pak Beye’ di sana, tetapi ungkapan media, bahasa rakyat di pasar Biringharjo, candaan para pengunjung Malioboro, serta pernyataan Sultan HB-X saat melantik Bupati Gunung Kidul beberapa waktu lalu yang mengatakan adanya Gubernur Utama akan menghabisi keistimewaan Jogja, termasuk sejumlah baleho yang menuliskan hasil survey dari sebuah Perguruan Tinggi disana, adalah bentuk antipati dengan pemerintahan Presiden SBY saat ini. Bahkan, sikap DPD Golkar Jogja untuk menjadi oposisi pemerintahan SBY, mungkin tidak sekedar perlawanan
politik Golkar dengan koalisi saat ini, tetapi ‘tersirat’ adanya ketidak-sukaan terhadap pribadi Pak Beye. Secara subjektif, Saya lalu berkesimpulan. Bahwa warga Jogja memang tidak suka langsung ‘menyebut kejelekan seseorang’ tetapi melalui tindak tanduk yang sebenarnya menggambarkan ketidaksukaan pada seseorang. Dalam konteks ini kepada Pak Beye, yang merupakan satu-satunya Presiden RI yang ‘berani’ ingin mengubah status Jogja yang selama ini terpelihara dengan baik dan tak pernah dipersoalkan oleh warga Jogja sendiri. Mungkin kita bisa memahami keinginan Pak Beye, bahwa tak ada satupun daerah di nusantara ini, yang berdiri dua kepemimpinan. Tapi khusus untuk Jogja, tampaknya tak perlu dipersoalkan, sebab esensi seorang Sultan, bukan hanya sebagai kepala daerah, tetapi juga panutan yang mengayomi warganya di setiap keadaan.
Nasionalisme Orang Jogja Apakah Jogja ingin lepas dari NKRI bila status seorang Sultan dipersoalkan sebagai gubernur Kepala Daerah? Mungkin ya, mungkin pula tidak. Tapi soal nasionalisme warga Jogja sebagai bagian dari Indonesia yang utuh tak perlu diragukan. Wong Jogja tetap merasa bagian dari Indonesia yang damai. Bahkan ‘pesan’ kecintaan terhadap NKRI begitu kuat di Jogja, jauh lebih kuat dari wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Saya memotret sebuah spanduk seukuran semeteran dengan menuliskan ‘Jogja Kota Republik’ tersebar di jantung-jantung kota Jogja, Saya malah berpikir, Jogja sangat nasionalis, tetapi tetap melekat erat symbol-simbol kesultanan di sana. Mungkin disanalah letak keistimewaan daerah itu. [caption id="attachment_94586" align="aligncenter" width="283" caption="jogja kota republik (foto : hamzah)"]
[/caption] [caption id="attachment_94590" align="aligncenter" width="283" caption="penulis dan keraton jogja dimalam hari (foto : cini eshaya)"]
[/caption] Bukan sekedar itu. Prilaku sederhana dan keramahtamahan orang Jogja, serta symbol-simbol perjuangan perjalanan panjang Bangsa Indonesia, sangat banyak di temui di Jogja, dan saya pun berkesimpulan kalau Jogja adalah ‘Indonesia Asli’ yang tak perlu dipersoalkan statusnya. Biarkan Jogja tumbuh dengan rona Indonesia. Biarkan Jogja hidup seperti apa adanya saat ini, sebagai kota perjuangan, kota pendidikan, kota yang penuh keramahtamahan, kota yang bercirikan nuanasa masa lalu Indonesia. Dan tak perlu mengubahnya seperti Jakarta yang saaat ini sangat terasa kapitalisnya. Jogja, kota yang penuh cinta. Jangan recoki dengan politik praktis yang berkedok demokratis. Kata orang Jogja. “Yang sudah baik, tidak usah dirusak!” begitu ungkapan seorang abang becak yang mengatar perjalanan kami menuju Setasiun Tugu Jogja, sesaat sebelum balik ke Jakarta. (**) Jakarta sore hari, 6 Maret 2011
Tulisan terkait Jogja baca disini http://politik.kompasiana.com/2010/12/09/cedera-cinta-pak-beye/ http://politik.kompasiana.com/2010/12/02/5-juta-gulden-dendam-sby-dan-kesunyian-isu-korupsi/ http://politik.kompasiana.com/2010/11/30/jogja-sebentar-lagi-berakhir%E2%80%A6/ http://politik.kompasiana.com/2010/11/29/pak-beye-%E2%80%99kegatelan%E2%80%99-monarki-yogya/
Lihat Politik Selengkapnya