Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Meninjau Aksesibilitas Hukum terhadap Perlindungan Konsumen dalam Bidang E-commerce

9 Juni 2020   14:19 Diperbarui: 9 Juni 2020   14:35 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: chinamoneynetwork.com

Abad informasi teknologi saat ini telah membawa perkembangan telematika yang sangat signifikan yaitu digunakan dengan memanfaatkan jaringan internet melalu media komputer (Suhardo, 2007). 

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Terlebih dengan masuknya era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan peningkatan digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor: 1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas;  2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; 3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia  dengan mesin; dan 4) perbaikan Era Industri. (Lee et al, 2013).

Data hasil survey pengguna internet Indonesia yang diperoleh dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2018, tercatat bahwa pengguna internet di Indonesia sebesar 132,7 juta orang dimana pengguna terbanyak sejumlah 86.3 juta orang ada di pulau Jawa dan kedua di Sumatera (Indonesia, 2016). Sebanyak 132,7 juta pengguna internet memanfaatkan internet untuk media sosial (97.4%), hiburan (96.8%), berita (96.4%), pendidikan (93.8%), komersial (93.1%), dan layanan publik (91.6%) (Indonesia, 2018). Saat ini, penggunaan media internet tidak terbatas pada pemanfaatan informasi melainkan juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi dan beberapa perusahaan telah mulai menggunakannya yaitu perdagangan secara elektronik atau yang kita kenal sebagai electronic commerce (e-commerce).

E-commerce merupakan model bisnis modern yang non-face atau tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli). E-commerce merupakan bisnis dengan melakukan pertukaran data (data interchange) via internet dimana kedua belah pihak, yaitu orifinator dan addresser atau penjual dan pembeli barang dan jasa,dapat melakukan bargaining dan transaksi (Suparni, 2009). Cara ini menjanjikan akses tanpa batas, cepat dan interaktif memudahkan konsumen dalam memperoleh suatu produk sesuai keinginan tanpa harus keluar rumah. Saat ini, internet dan e-commerce telah menjadi sebuah gaya hidup baru bagi masyarakat di seluruh dunia, salah satunya Indonesia.

Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di mana barang dan/atau jasa dapat diperdagangkan kepada konsumen melewati batas-batas wilayah, maka perlindungan konsumen akan selalu menjadi isu penting yang menarik untuk diperhatikan. Konsumen dan pelaku usaha merupakan pihak-pihak yang harus mendapat perlindungan hukum. Namun, posisi konsumen pada umumnya lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. 

Hal ini berkaitan dengan tingkat kesadaran akan haknya, kemampuan financial, dan daya tawar (bargaining position) yang rendah. Padahal tata hukum tidak bisa mengandung kesenjangan. Tata hukum harus memposisikan pada tempat yang adil dimana hubungan konsumen dengan pelaku usaha berada pada kedudukan yang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi satu dengan yang lain. Posisi konsumen harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat dan tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Perlindungan hukum kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen.

Dalam melakukan transaksi jual beli melalui internet, konsumen juga harus jeli, teliti serta waspada terhadap penawaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tidak jarang pelaku usaha menawarkan produk yang fiktif, yang dijual murah agar konsumen tertarik. Konsumen harus memastikan dahulu sebelum memesan barang, pastikan merchant mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi dan alamat lengkapnya. 

Apabila tertarik dengan barang yang ditawarkannya, maka lakukan komunikasi terlebih dahulu, biasanya pembeli langsung menghubungi lewat telepon, untuk memastikan apakah barang benar-benar ada, setelah itu pembeli baru menanyakan tentang spesifikasi barang yang akan dibelinya. Jika setuju, maka pembeli segera membayar harga atas barang tersebut, kemudian barang dikirimkan. Kegiatan aktif konsumen untuk selalu berkomunikasi atau bertanya tentang barang yang akan dibelinya kepada pelaku usaha akan dapat mengurangi dampak kerugian bagi konsumen.

Oleh karena itu dengan melihat penggunaan media internet sebagai sarana perdagangan secara elektronik (e-commerce) yang mengalami perkembangan  secara signifikan. Namun perkembangan tersebut nyatanya belum sejalan antara regulasi yang ada dan praktik dilapangan, baik dalam segi pengawasan, jaminan terhadap perlindungan konsumen yang melakukan transaksi lintas negara, maupun perlindungan terhadap data pribadi konsumen. Tidak hanya itu seiring perkembangannya, dalam melakukan suatu transaksi metode pembayaran pun semakin beragam tidak hanya melalui kartu kredit, namun sekarang masyarakat juga bisa menggunakan metode pembayaran seperti gopay, ovo dan lain-lain, namun bagaimana jaminan terhadap uang digital tersebut apabila suatu saat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Sehingga timbul pertanyaan bahwa sejauh mana payung hukum yang ada dan tindakan dari pemerintah saat ini mampu untuk mengakomodir dan memberikan perlindungan hukum terhadap para pelaku e-commerce, karena keberadaan regulasi e-commerce  di indonesia  belum secara komprehensif  dalam  memberikan perlindungan hukum sebagaimana yang dimaksudkan penulis.

Aspek Perlindungan Konsumen Dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan Terhadap Konsumen E-Commerce

Transaksi E-Commerce Dalam UU Perlindungan Konsumen
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha telah diatur dengan jelas dan tegas. Untuk hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU UU Perlindungan Konsumen, sedangkan untuk hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 dan 7 UU Perlindungan Konsumen. Dalam pasal-pasal tersebut diatur bagaimana proporsi atau kedudukan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu mekanisme transaksi bisnis atau perdagangan.

Dalam konteks transaksi e-commerce, aspek hukum perlindungan konsumen yang berkaitan langsung dengan konsumen adalah yang mengenai aspek perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan tanggung jawab pelaku usaha. Aspek perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Aspek ini dapat diberlakukan apabila dapat dibuktikan bahwa barang dan/jasa yang diperdagangkan melalui e-commerce melanggar ketentuan ini. 

Selanjutnya terkait dengan hal ini pula tentang dilarangnya iklan yang menyesatkan.konsumen maupun yang mengelabui, seolah-olah barang dan/atau jasa yang ditawarkan mempunyai kondisi yang baik namun pada kenyataannya tidak (Az. Nasution, 2001: 28).

Dalam transaksi e-commerce, aspek tanggung jawab juga berlaku untuk pelaku usaha, dalam hal ini merchant, apabila konsumen menemui barang dan/atau jasa yang dibelinya tidak sesuai perjanjian. Aspek tanggung jawab pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Aspek ini berlaku pada saat pelaku usaha melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi konsumen. Kerugian ini dapat berupa kerusakan, pencemaran barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Aspek tanggung jawab ini tidak hanya berlaku bagi pelaku usaha dalam memproduksi barang dan/atau jasa, namun juga bagi pelaku usaha periklanan serta importir barang atau penyedia pelaku jasa asing.

Aspek hukum perlindungan konsumen di atas akan berlaku apabila diantara pelaku usaha dan konsumen berada dalam satu wilayah yurisdiksi yang sama yaitu yurisdiksi Indonesia. Namun masalah akan timbul apabila antara pelaku usaha dan konsumen memiliki yurisdiksi yang berbeda. Untuk pelaku usaha yang berada diluar wilayah Indonesia, sebenarnya tergantung kepada perjanjian antara para pihak yang telah disepakati sebelumnya. 

Biasanya dalam kontrak akan dimuat klausula choice a law (pilihan hukum), namun dari beberapa yang ada dilapangan, seperti halnya amazon.com, dalam klausula condition of use yang diterbitkannya, amazon.com menegaskan bahwa untuk setiap transaksi yang dijalankannya berlaku The Law of State of Washington sebagai pilihan hukumnya (Az. Nasution, 2001: 29).

UU Perlindungan Konsumen belum secara jauh mengatur tentang hal tersebut, dan apabila suatu ketika terjadi suatu sengketa maka instrumen hukum yang tepat digunakan adalah menggunakan hukum perdata internasional, seperti perjanjian dan yurisprudensi. Prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau "trust" terhadap penjual maupun pembeli. 

Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan website e-commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, toko online, maupun blog).  

Sehingga dengan adanya payung hukum yang jelas terkait perlindungan konsumen dan kesadaran masyarakat terhadap product awarnesss diharapkan dapat mengurangi atau meminimalisir resiko terjadinya praktek perdagangan yang curang yang dapat melindungi konsumen, terutama konsumen e-commerce.

E-Commerce Dalam UU Perdagangan

Undang-Undang perdagangan ini merupakan manifestasi dari keinginan untuk memajukan sektor perdagangan yang dituangkan dalam kebijakan perdagangan dengan mengedepankan kepentingan nasional. Hal ini sangat jelas dalam Pasal 2 huruf (a) UU Perdagangan tersebut yang menyatakan bahwa: 

"Kebijakan perdagangan disusun berdasarkan asas kepentingan nasional". Kepentingan nasional tersebut antara lain meliputi: 

  1. mendorong pertumbuhan ekonomi;
  2. mendorong daya saing perdagangan;
  3. melindungi produksi dalam negeri;
  4. memperluas pasar tenaga kerja;
  5. perlindungan konsumen, menjamin
  6. kelancaran/ketersediaan barang dan jasa;
  7. penguatan UMKM dan lain sebagainya.

Isu yang penting dari perdagangan e-commerce dalam UU Perdagangan ini ini adalah bagaimana UU ini dapat melindungi pelaku usaha mikro yang baru berkembang tanpa mengenyampingkan perlindungan konsumen. Adanya amanat dari Pasal 65 UU Perdagangan terkait pelaku usaha e-commerce yang diharuskan menyediakan data dan informasi akan memberikan dampak baik bagi perlindungan konsumen. 

Dalam Pasal 65 ayat (4) UU Perdagangan di sebutkan: Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:  a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;  b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;  c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;  d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan  e. cara penyerahan Barang

Pasal 65 UU Perdagangan ini hampir selaras dengan ketentuan Pasal 25 Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE). Harmonisasi kebijakan ini penting untuk dapat menjamin adanya kepastian hukum dalam menjalankan bisnis ecommerce baik bagi pelaku usaha maupun bagi konsumen. Sehingga pelaku bisnis e-commerce dapat menjalankan bisnisnya tanpa mengabaikan perlindungan sebagai konsumen.  

Penguatan perlindungan konsumen dalam perdagangan e-commerce adalah aspek yang sangat penting. Penguatan tidak cukup hanya sebatas pengaturan regulasi, diperlukan penguatan dalam bentuk mekanisme kelembagaan yang meningkatkan signifikansi dan kepercayaan (kredibilitas) dari lembaga-lembaga terkait yang memiliki kewenangan untuk melindungi kedua belah pihak (pelaku usaha dan konsumen) dari praktik penipuan dan penyalahgunaan media internet. 

Bentuk penguatan mekanisme kelembagaan dapat dilakukan dengan memperkuat fungsi lembaga keandalan sebagai pihak ketiga yang dapat dipercaya dalam menerbitkan Sertifikat Digital dan membuat iklim perdagangan Elektronis menjadi lebih aman dan terpercaya oleh masyarakat pengguna. Untuk dapat berjalan secara efektif, UU Perdagangan yang ada saat ini membutuhkan suatu Peraturan Pemerintah terkait e-commerce agar dapat menjalankan aturan-aturan e-commerce tersebut.

Pengaturan Hukum E-Commerce Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Pengaturan hukum berupa peraturan perundang-undangan tentang cyber dan E-Commerce seyogiyanya mencakup perangkat hukum yang berkaitan, sehingga menjadi satu subsistem di dalam sistem hukum nasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan perluasan makna dari KUH perdata, Undang-Undang hak cipta, Undang-Undang perlindungan konsumen, Undang-undang Informasi Teknologi Elektronik dan Undang-Undang merek terkait dengan hal tersebut. Masalah-masalah legal di internet yang belum terjangkau oleh hukum secara jelas antara lain, kontrak online, Privasi, E-Commerce, pembayaran elektronis, tanggung jawab pembuat hompage, e-mail, dan chat. Dalam hal kontrak dilakukan di cyberspace, peraturan tidak memiliki perbedaan. Namun, bagaimanapun terdapat keadaan di cyberspace yang sama sekali baru dan tidak ada suatu ketentuan pun yang berlaku sehingga menyebabkan ketidakpastian dan resiko bisnis sangat tinggi.

Perubahan drastis dari perilaku komunikasi yang biasanya menggunakan kertas (paper) dan kemudian menggunakan elektronik mengubah sistem kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang beralih dari alam wujud (fisik) ke alam elektronik (non fisik) disebutkan sebagai ruang maya (cyberspace). Dalam hukum perdata bisnis, kegiatan di alam maya ini terjadi dalam bentuk kontrak dagang elektronik (E-Commerce). 

Kontrak dagang tidak lagi merupakan paper-based economy, tetapi digital electronic economy. Pemakaian benda yang tidak berwujud semakin tumbuh dan mungkin secara relatif akan mengalahkan penggunaan benda yang terwujud. Pengaturan Transaksi E-Commerce dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU ITE) termasuk gerbang harmonisasi hukum konvensional dan hukum pada era digital, dengan diakuinya e-document sekaligus sebagai perluasan hukum acara yang berlaku di Indonesia (Pasal 5 UU ITE). Akan tetapi UU ITE masih memerlukan PP turunan sebagai petunjuk pelaksanaan dalam penerjemahan implementasi transaksi elektronik itu sendiri. Pengaturan transaksi E-Commerce dalam UU ITE dapat dijabarkan sebagai berikut.

  1. Diperlukannya keberadaan suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan untuk melakukan sertifikasi terhadap pihak yang akan melakukan transaksi elektronik (Pasal 10);
  2. Pengaturan pelaksanaan Transaksi Elektronik (Pasal 17 Ayat (3));
  3. Pengaturan mengenai Kontrak Elektronik terhadap Transaksi Elektronik (Pasal 18 Ayat (1));
  4. Penyelesaian Sengketa atas Transaksi Elektronik (Pasal 18 Ayat (3));
  5. Sistem Elektronik sebagai sistem pelaksanaan Transaksi Elektronik (Pasal 19);
  6. Pengaturan mengenai Agen Elektronik sebagai perantara dalam melakukan Transaksi Elektronik (Pasal 21 dan 22);
  7. Beberapa pasal hukum yang sudah ada dapat digunakan untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan masalah cyberspace, sedangkan hal-hal lainnya harus dituangkan dalam cyberlaw yang baru.

Dengan melihat beberapa pengaturan terkait e-commerce di beberapa peraturan perundang-undangan yang ada, Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa hak konsumen yang relevan dengan e-commerce adalah: 

  1. hak atas keamanan dan kenyamanan Konsumen, khususnya atas Privasi dan data pribadinya;
  2. hak atas kejelasan informasi sebelum melakukan kontrak elektronik;
  3. hak mendapatkan sesuatu barang dan/atau jasa yang sesuai dengan ekspektasi dan/atau sepadan dengan biaya yang dikeluarkannya, dan;
  4. hak atas jaminan perlindungan hukum atas segala hal yang menyangkut transaksi maupun dalam hal penyelesaian sengketa. 

Secara umum telah dipahami bahwa hak atas keamanan dan kenyamanan adalah tidak hanya menyangkut kepada penyelenggaraan sistem yang aman baik secara fisik maupun logik dari penyelenggara, melainkan juga mencakup segala sesuatu pada sistem elektronik yang berdampak kepada privasi dan data pribadi konsumen.

Oleh karena itu yang pertama adalah berkaitan dengan aspek hukum perlindungan konsumen diantara para pihak yang memiliki yurisdiksi yang berbeda yakni aspek tentang pertanggungjawaban pelaku usaha belum mampu dijangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada, maka perlu adanya revisi dan harmonisasi hukum antara undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang perdagangan dan undang-undang ITE. 

Kedua, berkaitan dengan privasi dan data pribadi konsumen, yakni dengan melihat perkembangan teknologi yang semakin pesat, maka ruang terhadap penyalahgunaan terhadap data pribadi konsumen juga semakin terbuka, begitupun dengan uang digital yang juga rentan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, kejahatan-kejahatan dalam dunia internet selama ini juga sudah bukan lagi menjadi rahasia umum, maka perlu adanya aturan melalui sanksi yang tegas dari pemerintah dalam upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak para konsumen yakni dengan dituangkan dalam aturan tambahan seperti peraturan pemerintah sebagai turunan dari undang-undang ITE.

Selain itu diperlukan adanya badan pengawas seperti halnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang sejatinya perlu diperluas jangkauan terhadap tugas dan wewenangnya yakni berkaitan dengan perdagangan melalui media elektronik atau e-commerce, kemudian membentuk policy cyber dibawah LPKSM yang nantinya berwenang untuk mengawasi dan menangani setiap kejahatan dan penyalahgunaan dalam cyber space itu sendiri.

Adapun yang ketiga, berkaitan dengan sengketa bisnis yang terjadi tentunya harus diselesaikan secara cepat. Semakin banyak serta luasnya kegiatan perdagangan, maka terjadinya sengketa akan semakin tinggi sehingga mengakibatkan banyak sengketa yang harus diselesaikan. Dalam dunia bisnis saat ini, penyelesaian sengketa secara litigasi kurang efektif dan kurang disukai pelaku usaha karena menyita banyak waktu. Oleh karena itu perlu dicari suatu sistem yang tepat, efektif dan efisien. Sistem tersebut harus mempunyai kemampuan penyelesaian sengketa dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Mertokusumo, 2002). 

Dalam dunia internasional, praktek penyelesaian sengketa e-commerce dimungkinkan untuk diselesaikan (terutama dalam sengketa bernilai kecil) dalam forum yang tepat, yang dikenal dengan istilah Online Dispute Resolution (ODR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa Online, yang menjadi cara praktis untuk memberikan solusi peryelesaian sengketa konsumen yang tepat, murah dan efektif (Barkatullah & Prasetyo, 2009). ODR merupakan alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan yang menggunakan internet sebagai media untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun