Dalam sejarah kebudayaan maritim di Nusantara, senjata api tradisional memegang peran penting sebagai penanda kekuasaan, alat pertahanan, sekaligus simbol prestise sosial. Di antara berbagai jenis senjata api yang dikenal dalam khazanah teknologi lokal, cetbang-meriam kecil berteknologi sederhana-menjadi salah satu artefak paling menarik.Â
Di Desa Leworaja, Kabupaten Lembata, ditemukan sebuah fragmen senjata yang termasuk dalam kategori ini dan dikenal secara lokal sebagai bedi. Artefak bedi ini bukan sekadar peninggalan militer. Ia merepresentasikan lapisan-lapisan makna sejarah, teknologi, dan budaya yang saling berkelindan. Keberadaannya menjadi bukti bahwa masyarakat lokal tidak hanya menjadi penerima pasif arus teknologi luar, tetapi juga aktif dalam menyerap dan mengontekstualisasikannya dalam kerangka budaya mereka sendiri.
Bedi yang ditemukan merupakan bagian pangkal dari meriam ringan, dengan bentuk laras pendek, lubang sumbu (touch hole) di bagian atas, serta pegangan lengkung berhias spiral. Bahan logamnya, yang menunjukkan tanda-tanda korosi hijau keabu-abuan, mengindikasikan bahwa senjata ini kemungkinan dibuat dari perunggu atau kuningan---logam-logam yang lazim digunakan pada cetbang sejak abad ke-14. Dengan ukuran yang relatif pendek, artefak ini diduga digunakan dalam konteks pertahanan jarak dekat. Selain fungsi taktis, bentuk artistik dan cara penyimpanannya menunjukkan bahwa bedi juga memikul fungsi simbolik.
Secara etimologis, istilah bedi merupakan pelafalan lokal dari kata bedil, yang dalam bahasa Melayu-Indonesia mengacu pada senjata api secara umum. Transformasi bunyi ini mencerminkan proses adaptasi fonetik yang lazim terjadi ketika istilah asing memasuki kosakata bahasa daerah. Menariknya, tempat ditemukannya artefak ini oleh masyarakat lokal disebut sebagai Bedi Pawe, yang secara harfiah berarti "tempat penyimpanan bedil". Nama ini bukan sekadar penanda lokasi, tetapi juga bukti kuat bahwa benda tersebut pernah dianggap penting dan memiliki status khusus dalam struktur budaya masyarakat.
Temuan bedi tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kerajaan Labala, sebuah entitas politik tradisional yang pernah eksis di wilayah selatan Lembata. Meskipun dokumentasi tertulis mengenai kerajaan ini terbatas, keberadaannya masih diingat melalui struktur makam raja, situs bekas istana, serta tradisi lisan yang hidup hingga kini. Dalam konteks kerajaan kecil seperti Labala, penguasaan terhadap senjata api, meskipun terbatas, menjadi indikator penting legitimasi kekuasaan. Bedi kemungkinan berfungsi bukan hanya sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai pusaka kekuasaan, digunakan dalam upacara kenegaraan atau disakralkan sebagai lambang otoritas penguasa.
Kemunculan bedi di Lembata menunjukkan adanya hubungan wilayah ini dengan jalur perdagangan dan difusi teknologi dari barat ke timur Nusantara. Cetbang sendiri dikenal sebagai teknologi asli yang berkembang sejak masa Majapahit dan menyebar melalui aktivitas pelayaran, perdagangan rempah, dan ekspedisi politik. Teknologi ini tidak hadir sebagai entitas asing semata. Masyarakat lokal seperti di Labala tidak hanya mengadopsi teknologi tersebut, tetapi juga memberikan makna baru sesuai konteks sosial dan spiritual mereka. Bedi adalah hasil dari proses glokalisasi: transformasi benda asing menjadi bagian dari kebudayaan lokal.
Aspek paling menarik dari temuan ini adalah konteks penyimpanannya: bedi diletakkan di bawah sebuah dolmen---struktur batu megalitik yang umumnya diasosiasikan dengan tempat pemujaan leluhur atau ruang sakral. Kombinasi ini memperlihatkan bahwa bedi telah melalui proses sakralisasi, diposisikan bukan sekadar sebagai senjata, tetapi sebagai objek keramat. Penempatan ini menunjukkan adanya kesinambungan budaya antara praktik megalitik masa lampau dan pemaknaan baru terhadap benda hasil teknologi. Dolmen yang sebelumnya digunakan untuk pemujaan leluhur, kini digunakan untuk menyimpan bedil tradisional. Ini adalah bukti kuat bahwa sistem nilai spiritual masyarakat Labala mampu menyerap dan mengintegrasikan teknologi modern dalam bingkai kosmologi lokal.
Bedi dari Labala adalah pintu masuk untuk memahami bagaimana masyarakat memproduksi makna terhadap artefak material. Kajian lanjutan diperlukan, baik melalui pendekatan arkeometalurgi, etnoarkeologi, maupun pelibatan komunitas dalam pelestarian narasi lokal. Kombinasi antara kajian ilmiah dan partisipasi masyarakat akan memperkuat upaya pelestarian serta menjadikan warisan budaya ini sebagai bagian dari pendidikan publik.
Dalam konteks yang lebih luas, temuan ini menjadi pengingat bahwa warisan budaya tidak selalu hadir dalam bentuk monumental. Sebuah senjata kecil, disimpan di bawah batu sunyi, bisa mengandung sejarah panjang tentang kekuasaan, perdagangan, resistensi, dan spiritualitas lokal.
Bedi dari Labala bukan sekadar potongan logam tua. Ia adalah suara dari masa lalu yang bertahan dalam ingatan dan ruang, simbol dari perjumpaan antara teknologi dan keyakinan, antara kekuasaan dan kesakralan. Ditempatkan di bawah dolmen, bedi itu seperti dijaga oleh roh bumi dan sejarah, menunggu untuk didengar kembali oleh generasi masa kini.