Topik pilihan dari Kompasiana kali ini cukup "menggelitik" nurani saya, meskipun secara pribadi, saya agak ragu memberikan opini.
Keraguan yang mendera batin adalah perihal kompetensi. Saya merasa diri masih fakir di bidang bahasa Indonesia, karena saya berprofesi sebagai guru bahasa Inggris, bukan guru bahasa Indonesia.
Selain itu, saya juga tahu diri kalau selama ngeblog, saya sudah berusaha semaksimal mungkin mengikuti aturan kebahasaan dalam bahasa Indonesia, baik dari segi ejaan maupun dari hal lainnya.
Hasilnya, yah saya masih terus belajar dan belajar. Sampai sekarang, saya masih malu kalau membaca hasil tulisan saya. Rasanya jauh sekali dibandingkan blogger-blogger lain yang sudah malang melintang dan centang perenang dalam dunia blog.
Menurut saya secara pribadi, bahasa ngeblog, seburuk apapun, tidak akan merusak bahasa Indonesia.
Ada tiga alasan yang mendasarinya.
1. Sudah ada PUEBI dan KBBI yang memfasilitasi dan mengedukasi warganet perihal bahasa Indonesia yang baik dan benar
Dengan adanya smartphone, apa pun bisa dikerjakan. Mulai dari mencari resep masakan sampai menelepon gebetan. Dari belanja online sampai belajar secara daring.
Bicara soal belajar secara daring, aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan website Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) sangatlah membantu dalam mengedukasi warganet perihal bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dengan adanya dua alat bantu tersebut, warganet akan mengetahui bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang tepat.
Jadi meskipun banyak blog yang menggunakan bahasa Indonesia yang tidak standar, warganet bisa memeriksa keakuratan kata-kata di dalam blog-blog tersebut lewat dua alat bantu tadi.
Pengalaman saya dalam menulis artikel di Kompasiana sebagai contoh. Saya biasanya menulis langsung tanpa henti dan tak memedulikan ejaan dan tanda baca. Menulis saja.Â