Namun sayangnya segala sesuatu tidak mungkin bisa seperti dulu lagi, dan kalaupun kembali, tentu saja, berbagai kemudahan yang sudah bisa dinikmati sekarang ini tidak akan ada lagi, terutama kemudahan untuk bekerja dimana saja dan kapan saja.
Kembali ke soal Jarno tadi.
Sebenarnya bukan hanya Jarno seorang yang mempunyai pola pikir 'hape dimana saja dan kapan saja'.
Beberapa saudara saya pun juga berpandangan seperti itu.
Menggunakan hape itu boleh, tapi jangan sampai diperbudak oleh hape itu sendiri, sampai-sampai ada perkataan 'lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan hape' atau 'lebih baik kehilangan dompet daripada kehilangan hape'.
Saya kira perkataan yang kedua terlalu radikal, dan saya lebih memilih kehilangan hape daripada dompet, karena saya sudah merasakan susahnya mengurus kehilangan KTP, SIM dan yang lainnya. Bukannya simpati yang saya dapatkan dari para pejabat yang terkait, tapi muka manyun dan uang yang keluar pun tidak sedikit.
Jangan Menjadikan Hape sebagai Dewa
Kecenderungan saat ini, setiap orang sibuk dengan hape di tangan masing-masing. Meskipun berdekatan, tapi pikiran dan perasaan mereka berada di seputaran layar hape.
Dari terbitnya matahari sampai munculnya rembulan dan bunyi jangkrik di malam hari, tangan seperti tidak pernah lepas dari lem di hape yang mungkin lebih kuat dari super lem terlengket sekalipun.
Seakan, hidup jadi mati dan terasa hampa tanpa hape.
Bagaimana dengan berdoa, apakah Anda menyediakan waktu khusus untuk berdoa, dan membaca kitab suci agama Anda?
Apakah Anda menyediakan waktu spesial untuk membaca buku dengan tujuan meningkatkan diri?