Masyarakat Minangkabau memiliki tradisi dan budaya ketika akan melaksanakan upacara pernikahan. Ada beberapa tradisi yang digelar ketika akan melaksanakan upacara pernikahan seperti, malam bainai, baarak sakaliliang kampuang, batagak gala, barundiang antaro mamak kedua belah pihak, malamang, babako dan masih banyak lagi. Dari tradisi diatas yang sudah jarang dijumpai saat ini adalah anak daro dan marak pulai di arak sakaliliang kampuang. Dahulu di tahun 80-an tradisi ini harus dilakukan sebelum bersanding di pelaminan.
Tetapi masih ada beberapa tradisi yang masih ada sampai sekarang seperti malamang. Lamang sendiri adalah suatu makanan yang terbuat dari beras pulut. Dalam proses memasak lamang terlebih dahulu beras direndam beberapa menit setelah itu beras ketan dimasukkan ke dalam talang bambu yang masih muda.
Tidak lupa juga di dalam tabung bambu dilapisi daun pisang yang masih muda atau masyarakat Minangkabau menyebutnya sebagai pucuak daun pisang. Tahap selanjutnya adalah beras ketan yang telah dimasukkan tadi ke dalam tabung bambu dituangkan santan yang telah diberi garam kemudian dimasak diperapian yang tidak terlalu besar sehingga lamang tidak gosong.
Malamang sendiri pun adalah tradisi yang harus ada ketika ada sanak saudara yang baralek. Tidak hanya untuk baralek, lamangpun bisa dijumpai ketika idul fitri, upacara kematian, dan juga lamang dijadikan sebagai barang bawaan dari keluarga anak daro (perempuan) ke rumah marakpulai (laki-laki) yang disebut sebagai manjalang. Untuk saat ini tradisi malamng masih banyak ditemui dibeberapa daerah di Sumatera Barat.
Sebagai generasi milenial seperti sekarang ini kita sepatutnya melestarikan hasil kebudayaan turun-temurun ini supaya tidak hilang sering perubahan zaman. Tradisi malamang ini juga mengandung nilai sosial seperti kerjasama, gotong royong, kesabaran. Supaya tradisi malamang ini tidak hilang di kalangan generasi pada saat ini para keluarga yang mengerti proses dan tradisi malamang bisa mengajarkannya ke anak-cucunya