Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Muhammadiyah, Salafisme, dan Problem Kultural Yang Dihadapi

26 Juli 2021   21:29 Diperbarui: 17 September 2021   19:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dosen UIN Sunan Kalijaga pada tahun 1998 yang menyimpulkan bahwa warga Muhammadiyah dapat digolongkan dalam 4 kelompok yaitu Al-Iklhas, Kyai Dahlan, MuNu (Muhammadiyah-NU), dan MuNas (Muhammadiyah Nasionalis). 

Kelompok pertama cenderung mengarah ke Salafi. Kelompok ini memegang teguh kemurnian Islam yang kuat secara tekstual. Berpegang pada syariat Islam yang rigid yaitu memberantas tahayul, bid'ah, dan khurafat. 

Dalam aplikasi dakwah di lapangan kelompok ini cenderung sangat kaku dalam memahami Islam. Memiliki sikap esklusif dan disiplin keagamaan yang keras dalam menerapkan syariat Islam. Juga terlihat dalam kehidupan kesehariannya, termasuk berpenampilan dan cara berpakaian. Sebagian tata cara aplikasi ibadah mereka tidaklah mengikuti Tarjih. Apapun keputusan resmi serta himbauan Pimpinan Pusat seperti salah satu contoh anjuran untuk melaksanakan vaksin misalnya, tidak mereka ikuti.

Kelompok kedua, adalah kelompok Kyai Dahlan, yaitu sebagaian warga Muhammadiyah yang KeMuhammadiyahannya seperti Kiai Dahlan. Mereka rata-rata berpendidikan, lebih lentur, dan punya kepiawaian yang tinggi dalam mengelola organisasi. Mempunyai paradigma berpikir puritan, tapi kontekstual, moderat, modern dan terbuka, serta mempunyai gagasan-gagasan tajdid yang tinggi dan toleran. Kebanyakan mereka ini adalah akademisi, kader-kader terdidik, guru-guru di amal usaha Muhammadiyah dan pimpinan-pimpinan elit di struktur pimpinan Muhammadiyah. Dan jumlahnya dominan. 

Kelompok Ketiga adalah: Kelompok Munu (Muhammadiyah-NU), kelompok ini adalah warga NU yang masuk ke dalam Muhammadiyah, mereka masuk Muhammadiyah karena beberapa hal diantaranya seperti pernikahan, pertemanan, lingkungan, pekerjaan, dan lain-lain. Karena itu, kehidupan mayoritas mereka tidak terlalu mencerminkan tradisi Islam murni mengikuti tarjih, tetapi masih mencerminkan Islam tradisional. Umumnya mereka berasal dari kalangan NU yang tetap terikat dengan tradisi keluarga besarnya. 

Kelompok Keempat, kelompok Munas (Muhammadiyah Nasionalis) adalah: Warga Muhammadiyah yang secara keagamaan lebih mirip disebut sebagai Islam abangan. Perilaku kelompok keempat ini dapat kita telusuri dari proses menggali Muhammadiyah. Umumnya mereka mengenal Muhammadiyah ketika menjadi siswa di sekolah atau menjadi pengajar, bahkan bekerja pada amal-amal usaha Muhammadiyah. Walaupun mereka mendapatkan pendidikan di sekolah dan bekerja serta berada dalam lingkungan Muhammadiyah, mereka tergolong abangan sehingga membuat pola-pola keMuhammadiyahan itu tampak tidak berbekas. 

Di tengah kondisi persyarikatan di atas yang mulai heterogen, dan menghindari dominasi kelompok Al-Ikhlas yang pelan-pelan mulai menggerogoti sendi-sendi Muhammadiyah di berbagai daerah, terutama di masjid Muhammadiyah, salah satu fokus yang harusnya menjadi gerakan saat ini dan kedepan adalah mengisi kekosongan mubaligh-mubaligh Tarjih, lalu menyebarkan mereka ke seluruh daerah, cabang, dan ranting di seluruh Indonesia yang kekurangan mubaligh Tarjih tersebut. 

Hal ini mendesak dilakukan karena agresi kelompok Al-Ikhlas sudah mulai terasa kuat masuk di Muhammadiyah dan mempengaruhi pola pikir sebagian warga Muhammadiyah. Kalau mau jujur ulama Tarjih nasional saja hampir bisa dihitung dengan jari, dan kalah suara dengan dakwah ustadz-ustadz salafi yang masif mengisi hampir semua platform media sosial, termasuk kajian-kajian pada masjid-masjid Muhammadiyah. 

Observasi dan kajian terakhir, kelompok Al Ikhlas ini sebagian sudah bermetamorfosa menjadi kelompok MuSa, yaitu Muhammadiyah Salafi. Mereka sudah menyatu dengan warga dan kader Muhammadiyah, bahkan beberapa masuk dalam struktur kepengurusan masjid dan pimpinan persyarikatan, serta memiliki NBM (nomor baku Muhammadiyah berbentuk kartu anggota). 

Mereka lebih aktif, fokus dan militan mengurusi masjid. Namun tata cara ibadah dan penyampaian dakwahnya tetap tidak mengikuti Tarjih. Sesekali membacakan buku-buku HPT, fatwa, tanya jawab, dan tata cara ibadah menurut Tarjih, tapi tidak sepenuh hati, hanya sekedar membacakan karena tuntutan organisasi. Di sela-selanya tetap menyisipkan beberapa dalil ber-platform salafi.

Tidak salah mengutip alm. Prof. Yunahar Ilyas yang mengatakan bahwa saat ini Muhammadiyah secara ideal harusnya memiliki sekitar 50 ribu ulama Tarjih jika ingin menegakkan base structure-nya. Suatu angka yang sangat besar dan sulit dicapai jika orientasi dakwah dan problem ini tidak segera diselesaikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun