Mohon tunggu...
Hafsah Irlin Zuchria
Hafsah Irlin Zuchria Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

YSU

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catcalling, Pantaskah Dianggap Candaan?

30 Maret 2020   13:51 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:19 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Catcalling menjadi suatu istilah yang kerap kali kita dengar. Mungkin sebagian besar masyarakat sudah mengenal istilah ini, namun ada juga masyarakat awam yang belum paham apa itu catcalling. 

Apa sebenarnya arti dari catcalling? Catcalling bisa juga disebut dengan istilah verbal street harassment. Dalam kamus oxford, catcalling diterjemahkan sebagai siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat seksual. Terkadang dibarengi pula dengan tatapan yang bersifat melecehkan dan membuat perempuan menjadi tidak nyaman.

Catcalling adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau bergerombol orang yang dapat membentuk siulan,sapaan atau bahkan komentar yang bersifat menggoda atau menurunkan martabat dan harkat perempuan bisa juga disebut pelecehan seksual secara verbal. (Lystianingati, M.Psi, 2018). 

Hampir seluruh perempuan di dunia pernah mengalami catcalling. Catcalling sering dialami perempuan saat mereka sedang di jalan. Kaum laki-laki sebagai pelaku catcalling mungkin menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah sekedar candaan atau keisengan. 

Atau bahkan mereka menganggap itu sebagai sesuatu hal wajar yang dilakukan oleh laki-laki pada umumnya. Padahal di sisi lain, perempuan yang menjadi korban catcalling tidak menganggap itu sebagai sebuah candaan yang lucu. Justru mereka merasa risih dan tidak nyaman.

Bentuk tindak catcalling bermacam-macam, seperti dengan ucapan "hai cantik, sendirian aja nih, mau kemana?" "hai cewek, mampir dulu sini" "sendirian aja, mau ditemenin?" "suit suit" "neng sayang" dan masih banyak lagi. 

Banyak orang yang justru menyalahkan korban, bukan menyalahkan pelaku. Mereka menyalahkan pakaian korban, mereka beranggapan bahwa pakaian yang dipakai korban akan mengundang pelaku untuk melakukan tindakan catcalling. 

Jika kita lihat, sebagian korban catcalling memang perempuan yang berpakaian ketat dan menonjolkan lekuk tubuhnya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa fakta yang terjadi adalah perempuan yang memakai pakaian tertutup pun juga kerap kali menjadi korban catcalling. Hal ini membuktikan bahwa pelaku catcalling tidak memandang penampilan dan pakaian, siapapun bisa saja menjadi korban catcalling.

Apa yang seharusnya dilakukan perempuan saat menerima tindakan catcalling? Bagaimana mereka harus bereaksi? Apakah harus menegur dan marah? Atau harus mengacuhkan? 

Faktanya, reaksi perempuan sebagai korban pelecehan seksual berbentuk verbal (verbal street harassment) ini cenderung bungkam dan tidak bertindak apa-apa karena mereka merasa takut dan terancam. 

Tindak catcalling ini berkaitan dengan hak yang terdapat pada Pasal 29 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun