Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Kehidupan Berjalan di Bantaran Kali

24 September 2018   15:05 Diperbarui: 24 September 2018   16:04 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Maesy Ang


Ada kesamaan mendasar antara buku Sokola Rimba dan Tempat Terbaik di Dunia ini. Kedua penulisnya sama-sama antropolog yang meleburkan diri dalam kehidupan masyarakat dengan kultur sangat berbeda dari kehidupan mereka sehari-hari. Butet Manurung di hutan Bukit Dua Belas Jambi tinggal bersama suku Anak Dalam, sedangkan Roanne van Voorst hidup setahun di sebuah kampung kumuh di Jakarta. 

Kesamaan kedua, buku-buku yang semula saya anggap semata memoar ini menyodorkan sudut pandang adil khas antropolog. Perspektif yang lebih manusiawi dengan meletakkan penduduk setempat sebagai manusia yang setara dengan pilihan-pilihan hidup yang mudah dimaklumi, alih-alih memposisikan diri sebagai perwakilan kaum beradab yang melaporkan kehidupan di dunia baru dan manusia primitif yang menghuninya.

Melalui narasi yang bergulir mulus, van Voorst menggambarkan kehidupan sehari-hari di Bantaran Kali -nama samaran untuk kampung kumuh lokasi penelitiannya. 

Dari kacamata pengamen jalanan, buruh cuci, tukang jamu, dan pekerja seks penghuni Bantaran Kali, detail kecil persoalan hidup mengemuka. Menarik menyimak respon orang-orang tersebut terhadap tantangan yang tak jauh dari realita hidup mereka, banjir dan kemiskinan. Upaya adaptasi macam apa yang diterapkan jika banjir melanda? Seberapa kreatif mereka menyiasati tuntutan memenuhi kebutuhan hidup?

Metode penelitian partisipatif yang dipilih penulis membuatnya mencoba kegiatan dan memakai produk yang sama dengan warga Bantaran Kali. Mencoba pijatan dan kerokan ketika sakit, juga meminum ramuan rempah dari jahe merah yang mahal. 

Bagian yang membahas rekomendasi dari para perempuan untuk masalah hubungannya dengan pacar di Belanda tak urung membuat senyum geli karena ketidakterkaitan antara solusi dengan inti persoalan, yang oleh sebab itu terasa jenaka sebab unsur tak terduga dan bahkan cenderung menjorok vulgar untuk pertanyaan yang masih di permukaan.

Satu tabiat penting yang tak lolos dari pengalaman van Voorst, tentu saja gaya hidup komunal yang diamalkan sepanjang detik oleh penduduk Bantaran Kali.

 Keluarga, tetangga dan teman adalah sistem pendukung primer bagi mereka. Kesendirian menempati peringkat teratas dalam daftar hal yang paling ditakuti, dan hampir selalu memandang kasihan jika van Voorst tengah sendiri, meskipun ia sebetulnya menginginkan kesendirian itu. 

Meski demikian ia tak dapat menampik betapa cara hidup terus bersama seperti itu juga membuatnya menikmati gelombang perhatian dan kasih sayang yang mengesankan selama periode hidupnya di kampung kumuh.

Kampung Bantaran Kali kini sudah tidak ada lagi. Ia digusur pada Agustus 2015, dua tahun setelah van Voorst kembali ke Belanda.  Ratusan penduduk kampung terusir dan hanya sebagian kecil yang mendapat hak tinggal di rumah susun sewa sederhana. Banyak di antara mereka yang tidak memperoleh ganti rugi sama sekali karena tidak memiliki KTP Jakarta. Beberapa terbentur harga sewa rusun yang masih terlalu mahal bagi mereka.

Penggusuran, menurut pendapat yang cukup populer, adalah langkah taktis terbaik untuk membenahi tata ruang sempadan sungai dan menangani banjir yang rutin berkunjung setiap musim hujan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun