Batok kelapa sememangnya merupakan bahan yang digunakan sebagai alat takaran beras sejak masa kuno (Hindu-Buddha). Di dunia Melayu lazim disebut dengan istilah cupak atau beruk (istilah beruk ini masih digunakan di Jawa). Satu cupak beras sama dengan sekitar satu setengah liter beras menurut takaran sekarang. Akan tetapi, bukankah batok kelapa bentuknya bulat tidak mirip dengan bentuk bulir padi?
Tidak semua batok kelapa bentuknya bulat. Ada jenis kelapa yang menghasilkan bentuk tempurung lonjong seperti seperti bola american football sehingga sangat mirip dengan bulir padi. Tanaman kelapa biasa pun dapat menghasilkan buah dengan tempurung lonjong meskipun sangat jarang terjadi. Karena kelangkaannya, tempurung kelapa lonjong ini dijadikan sebagai alat takar beras yang berharga dan digunakan untuk orang tertentu, saja (semisal ketua suku) serta dimanfaatkan sebagai alat ritual. Di kemudian hari, sebagai bentuk penghormatan, alat-alat ini dijadikan sebagai benda pusaka, barang keramat bahkan sebagai simbol kebesaran bagi suatu kelompok.
Untuk kasus di desa Selali, Bengkulu, cangkang padi yang diperlihatkan berbeda dengan yang diperlihatkan di tempat lain. Bentuk dan sangat mirip dengan bulir padi sesungguhnya. Bagian atasnya terlihat berlubang dan bagian dalamnya berongga. Tampaknya benda tersebut bukanlah sebagai alat takaran beras. Mungkin saja sebagai wadah menyimpan benih, beras, dan  biji-bijian lainnya. Selain itu, bahannya tidak terbuat dari tempurung kelapa melainkan dari tanaman lain yang belum diketahui.
Bagi saya, yang terpenting bukanlah keberadaan padi sebesar kelapa di masa lalu. Akan tetapi, bagaimana memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari legenda padi sebesar kelapa. Sebagaimana cerita di permulaan tulisan, marilah tetap bersyukur dengan kondisi dan keadaan apapun yang kita terima sekarang. Jika tak bersyukur barangkali Tuhan akan mengurangi anugrah yang Dia berikan kepada kita di masa mendatang.