Menyebut nama Pepih Nugraha, ada beberapa hal yang langsung terlintas dalam pikiran saya. Beberapa hal yang identik dengan Kang Pepih--panggilan akrabnya.
Bila harus menyebut dua saja, hal pertama yang identik dengan Kang Pepih adalah Kompasiana. Bagi sampean yang mungkin belum tahu, Kang Pepih adalah foundernya Kompasiana.
Kini, dia juga mengelola sebuah portal UGC politik dan portal UGC berbahasa Sunda. Serta kerap membagikan ilmu menulis baik secara offline maupun online.
Hal kedua yang menurut saya identik dengan Kang Pepih adalah catur. Pria kelahiran Tasikmalaya yang menikmati masa 26 tahun umurnya di Harian Kompas ini memang gemar bermain catur. Dia juga senang mengoleksi papan/bidak catur.
Tidak hanya senang bermain dan mengoleksi papan catur, Kang Pepih juga sejak dulu kala menulis tentang catur. Saat bekerja menulis di Kompas, dia sudah sering menulis artikel tentnag catur.
Tulisan paling akhirnya di Kompasiana yang diunggah pada 23 November 2020 lalu juga mencatut catur. Judulnya, "Sang Ratu Catur". Â
Nah, dari dua hal itu, catur-lah yang paling bikin saya penasaran pada Kang Pepih. Sebab, kalau tulisan, saya sering membaca tulisan-tulisan beliau di Kompasiana dan juga di bukunya berjudul "Ranjau Biografi".
Namun, untuk catur, saya penasaran ingin menantang Kang Pepih main catur. Meski saya tahu, pertahanan saya akan diacak-acak. Bakal bolak-balik terpojok. Tertekan. Di-skak.
Atau malah, bisa jadi saya sudah kena skak mat hanya dalam beberapa langkah. Lha wong saya ini cuma pemain catur kelas kampung yang bahkan tidak pernah juara tingkat RT hehe.
Saya mendadak teringat Kang Pepih. Ingat catur. Mengandaikan bermain catur dengan Kang Pepi. Ingatan itu mendadak muncul ketika ingin menceritakan ulang apa saja yang telah saya alami sepanjang tahun 2020 kemarin. Â
Ya, ibarat bermain catur dengan lawan yang sudah kelas pro, selama tahun 2020 lalu, saya (dan mungkin juga sampean) mungkin sering kena skak.