Memang, tidak mudah untuk tidak lagi melakukan apa yang selama ini seolah menjadi 'tradisi' dalam gelaran pilkada. Karenanya, butuh kebesaran hati dari semua pihak selaku peserta Pilkada, untuk lebih menahan diri.
Saya sengaja menulis semua peserta. Sebab, yang memang harus menahan diri bukan hanya pasangan calon yang akan tampil di pilkada maupun partai politik pengusung dan pendukung. Namun juga massa/masyarakat pendukung.
Mereka semua harus bisa menahan diri bahwa pilkada di era pandemi ini tidak cocok untuk melakukan show of force seperti dulu.
Tidak ada lagi cerita kampanye di lapangan terbuka yang dipenuhi massa, lalu diiringi musik seperti dulu. Bila memaksakan seperti itu, bagaimana bila tercipta klaster baru. Siapa yang mau bertanggung jawab?
Satu lagi, mengapa butuh kebesaran jiwa dari semua pihak. Sebab, aturan Kemendagri untuk mengatur masalah ini ternyata terbatas.
Melansir dari Kompas.com, Mendagri Tito Karnavian mengatakan, pihaknya sulit memberikan teguran kepada peserta pilkada non petahana yang melakukan kegiatan pengumpulan massa. Teguran keras hanya bisa dilakukan jika statusnya adalah petahana atau pejabat daerah.
"Kalau (peserta pilkada) bukan pejabat daerah, atau merupakan kontestan lain, Kemendagri tak punya dasar hukum untuk menegur," ujar Mendagri Tito Karnavian dikutip dari kompas.com.
Benar, Kemendagri tidak punya dasar hukum untuk menegur bakal calon petahana yang mengumpulkan massa. Bisa saja, ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan pasangan calon dari non petahana.
Karenanya, butuh kebesaran jiwa dari paslon non petahana untuk tidak mengumpulkan massa hanya karena mereka "tidak bisa ditegur" karena tidak ada dasar hukumnya.
Pada akhirnya, pilkada menjadi momen penting untuk memilih kepala daerah yang benar-benar berkualitas dan diinginkan oleh masyarakat untuk memimpin serta membawa kemajuan bagi daerahnya.
Namun, jangan sampai, ajang pemilihan kepala daerah ini, dalam perjalanannya justru menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Â Salam.