Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Kita Masih Indonesia?

7 November 2017   11:11 Diperbarui: 7 November 2017   11:27 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dok.pribadi

Masih Indonesia kah kita?

Pertanyaan sederhana yang disampaikan Ma'ruf Cahyono, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu sukses membuat puluhan netizens yang hadir di acara ngobrol bareng MPR di Surabaya pada akhir pekan kemarin (4/11) sejenak terdiam. Tercenung sembari menjawab pertanyaan itu dalam hati.  

Ya, itu memang pertanyaan yang teramat sederhana. Namun, jawabannya bisa sederhana tetapi juga bisa teramat pelik. Bila konteks jawabannya adalah status kewarganegaraan, pertanyaan ini mudah dijawab. Kita dengan mudah menjawab "saya masih Indonesia karena status kewarganegaraan di KTP saya masih tertulis warga negara Indonesia".

Namun, menjadi tidak mudah menjawabnya bila pertanyaan itu tidak sekadar dimaknai kontekstual. Tetapi lebih pada makna substansial. Substansial dalam artian, apakah kita masih disebut Indonesia bila paramaternya mampu membumikan dan membunyikan semangat keindonesiaan berdasarkan nilai-nilai 4 pilar MPR RI. Yakni Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

"Ataukah ke-Indonesia-an kita telah pudar dan hanya tinggal slogan dan gambar?" tanya Ma'ruf Cahyono lagi.

Memang, bila mengacu pada kemampuan kita dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam 4 pilar, bukan tidak mungkin ke-Indonesia-an kita sekadar tinggal tulisan dan slogan. Ambil contoh penerapan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan era kekinian.  

Yang jamak terjadi, kata bhinneka itu saja yang acapkali lebih digemakan. Tidak sedikit dari kita yang masih suka menonjolkan perbedaan dibanding mencari kesamaan. Terlebih di era media sosial seperti sekarang, di mana setiap orang bisa berperan sebagai "editor berita" atas apa yang mereka baca lantas membagikan (share) nya kepada orang lain cenderung karena pertimbangan menguntungkan diri dan kelompoknya. Seharusnya, bukan bhinneka saja yang digaungkan. Tetapi bagaimana agar ke-bhineka-an itu menjadi tunggal ika.

Memahami keresahan tersebut, saya jadi teringat dengan tulisan singkat Goenawan Mohamad di buku "Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali". Di buku terbitan tahun 2011 yang sesuai judulnya, merupakan himpunan tweet yang dipungut dari ruang Twitter nya, Goenawan Mohammad menulis begini:

"Apa Indonesia bagimu?"Tempat yang ditakdirkan untuk saya belajar bagaimana berbeda, bagaimana bersatu, dan bagaimana untuk tak putus asa".

Tulisan itu bisa maknai bahwa menjadi Indonesia harus siap dengan perbedaan. Sebab, negara ini dibangun dari kebhinekaan yang menjadi satu. Ya, menjadi Indonesia harus bisa menerima perbedaan dan berkawan baik dengan siapapun selama memang punya niat baik berkawan, tanpa mengungkit-ungkit perbedaan. Prinsip itu yang mulai saya ajarkan pada anak pertama saya yang kini kelas 1 SD dan mulai gemar bertanya mengapa ada kawannya yang berbeda logat bicaranya, berbeda kemampuan ekonomi keluarganya, berbeda sikapnya hingga berbeda agamanya.

Pesan untuk Anak-Anak Muda dan Netizens

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun