Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Impolite Politics", Saat Logika Tanpa Nalar

28 Desember 2018   09:03 Diperbarui: 28 Desember 2018   09:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hasil olahan pribadi

Akhir Desember 2018 ditandai dengan adanya beragam fenomena yang menjadi bencana di Indonesia, sebuah negeri di zamrud katulistiwa. Bukan hanya fenomena alam, namun juga fenomena sosial, keduanya menghasilkan kesedihan dalam kehidupan kita bersama sebagai sesama warga bangsa.

Gempa di Lombok, likuifaksi di Palu, dan tsunami di Selat Sunda, sudah pasti adalah bencana yang hadir ditengah-tengah kita. Lebih menyedihkan lagi, di atas seluruh rangkaian bencana itu, bencana lain muncul sebagai sebentuk fenomena yang tidak kita sadari kehadirannya.

Alih-alih berempati, menggalang dukungan dan lalu bergerak bersama melakukan penyelamatan yang masih bisa dilakukan, banyak orang justru memilih tindakan yang sungguh tidak membuat kita merasa nyaman.

Orang mengutuk bencana sebagai azab, berbarengan dengan itu orang memberondong Negara dengan banyak tuntutan tanpa sedikitpun kesabaran, dan puncaknya orang menakar seluruh dokumentasi yang ada sebagai hidangan siang kepentingan politik untuk disantap beramai-ramai.

Ini tragis. Tidak bisa tidak, sejujurnya harus kita katakan, ada bencana alam dan tragedi kemanusiaan yang tengah terjadi di negeri yang kita cintai ini.

Bukan melulu hanya disebabkan adanya kepentingan politik yang bermuara pada Pilpres yang akan berlangsung April 2019 nanti. Terlalu menganggap penting politik dan terlalu mengabaikan pentingnya peran politik sama-sama menjadi bumerang yang mencederai kepentingan bersama kita saat ini.

Di satu sisi demi kepentingan politik orang menyudutkan pihak pemerintah, BMKG, aparat, juga kepala daerah setempat untuk bulan-bulanan opini. Dan tanpa kewarasan yang lain ada sementara pihak menempatkan kejadian bencana itu sebagai steping stone batu pijakan untuk berfoto selfi dan merangkai cerita versinya sendiri.

Ini menyedihkan. Nalar kita tengah diujung tidak nalar, banyak orang menggunakan akalnya untuk tindakan-tindakan yang tidak masuk akal.

Agama menjadi hukum, tetapi hukum yang kemudian lahir itu tidak lantas menjadi kaidah agama yang mengayomi dan menuntun pada manusia untuk berbuat menuju benar. Disebabkan pada era medsos ini hukum digiring harus selaras keinginan orang banyak dan bukan untuk kepentingan kebenaran dari agama itu sendiri.

Bahkan sebuah pembunuhan yang seharusnya sudah menjadi puncaknya dari tindakan keji, menjadi sesuatu yang masih bukan tindakan akhir. Tidak cukup hanya dengan membunuh, orang kemudian melakukan mutilasi. Tidak puas hanya menghilangkan nyawa, orang masih tega mengecornya dengan semen dalam drum di jalan raya.

Tugas polisi hari ini di negeri ini menjadi ganda. Satu sisi mengurusi kejahatan yang dilakukan orang, pada sisi yang lain harus mengawasi orang gila tidak ketahuan yang banyak berkeliaran di mana-mana. Sementara banyak tokoh dan ulama di negeri ini yang semestinya juga memberikan penyadaran kejiwaan secara masif justru lebih sering terlihat mengambil peran pada isu-isu besar kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun