Kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Â Cafe dengan mudah dapat ditemukan di pelosok pelosok yang untuk mencapai ke sana butuh perjuangan. Â Semakin estetik tempat ngopi semakin ramai dikunjungi. Â Kopinya atau tempatnya yang diburu, lebih terlihat sebagai arus FOMO.
FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out. Rasa takut ketinggalan terhadap sesuatu yang menarik dan penting yang sedang menjadi trend. Â Makin menjadi trend dan viral makin menggoda untuk segera diikuti. Â Media sosial menjadi sarana yang sangat mempengaruhi perilaku ini. Â Seseorang yang terus-menerus melihat kehidupan orang lain yang menjadi "pusat perhatian", kemudian menimbulkan perasaan iri, tidak puas, atau cemas bahwa mereka akan ketinggalan momen berharga.
Kondisi ini kemudian memicu persaingan untuk mencari sesuatu yang unik. Â Ngopi di tempat yang jauh dari keramaian, melewati trek jalan yang sulit, berada di bukit-bukit yang direkayasa, lalu pesan kopi dan menikmati pemandangan yang sangat indah. Di situlah perjuangan agar tidak ketinggalan. Â Kopinya menjadi cepat dingin tidak menjadi masalah. Â Begitulah semakin unik semakin diburu. Seakan tidak ada puasnya.
FOMO tentu saja disenangi dunia industri, atau bahkan secara sengaja diciptakan, memanfaatkan insting manusia yang tidak pernah puas. Â Berusaha memenuhi keinginan terus menerus, lupa apa sesungguhnya yang dibutuhkan. Â Pada akhirnya mereka kesepian. Â Kopi pun hanya suguhan yang cepat terasa dingin. Â Karena mereka hanya mengejar bayangan, seolah puas ketika terpenuhi, padahal dia sedang menjadi orang lain.
Menikmati Kopi Sachet Tanpa FOMO
Di tengah gempuran gaya hidup ngopi sebagai bagian hidup modern, tetap bertahan para pecinta kopi sederhana. Â Mereka bisa ngopi di mana saja. Â Di rumah, di pinggir jalan, bekal piknik, modal bertamu untuk ikut ngopi. Â Tidak usah beli tempat untuk menikmati kopi. Â Dengan kopi itu sendiri tercipta suasana hangat. Obrolan tanpa saling merendahkan. Ngopi ya ngopi.
Kesederhanaan itu semakin terlihat ketika kopi yang dikonsumsi adalah kopi sachet. Â Di pinggiran terminal satu gelas dijual 4 ribu rupiah sampai dengan 5 ribu rupiah. Â Kopi sachet mampu menghidupi pedagang kecil kaum pinggiran. Â Kalau dibelikan mentahnya, uang Rp 5.000 Â bisa membeli 3 sampai 4 bungkus kopi sachet. Â Tinggal masak air, dan diseduh, aroma kopinya kemudian menghidupkan suasana.
Penikmat kopi sachet, bukan hanya kalangan bawah. Di kalangan mampu kopi sachet adalah kepraktisan. Â Di saat ingin ngopi, cukup disobek atau digunting, masukkan ke gelas, seduh dengan air panas. Â Pun ketika kedatangan tamu. Â Lebih praktis dengan kopi sachet. Begitulah kopi sachet, memberikan kenikmatan sekaligus kemudahan.
Filosofi Seduh Kopi
Ini adalah sebuah pengamatan berdasarkan pengalaman di tempat tinggal sekarang, yaitu di Bogor. Â Apalagi kalau bukan melihat para penikmat kopi Liong Bulan. Â Ada tiga tipe penikmat kopi Liong.Â
Pertama para penikmat kopi Liong tanpa gula. Rasa pahit menimbulkan sensasi tersendiri.  Mereka percaya akan mengurangi  risiko terkena penyakit gula.  Bagi penikmat kopi pahit ini, kehidupan sekarang sudah terlalu banyak makanan yang manis.  Kopi pahit adalah penawarnya.