Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reduksi Makna Doa Karena Pilkada

13 November 2020   09:56 Diperbarui: 13 November 2020   09:59 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Liputan6.com

Menjelang  9 Desember 2020 cukup banyak  yang kuamati  acara doa pemberangkatan kandidat . Hati saya berkata apakah orang orang yang memviralkan acara doa ini tidak akan menyebar uang menjalang tanggal 9 Desember 2020?  Apakah tidak merasa bersalah  berdoa kencang politik uang juga kencang?  Politik uang itu  sangat sulit dihindari tetapi apakah kesulitan itu   kita sampaikan kepada Tuhan?  Politik uang itu debat panjang karena itu butuh pergumulan karena itu ketika acara doa diviral maka  menjadi batu sandungan. 

Hal yang menakutkan dalam beragama adalah ketika makna  dalam kitab suci tereduksi secara sistematis.  Bagi yang tidak paham politik  praktis dan tafsir hurufiah politik uang  maka dipastikan pamer doa kandidat  dan diikuti bai-bagi uang akan mereduksi makna doa.  Masyarakat melihat doa  dan politik uang. Padahal, pemimpin adalah panutan.  Pemimpin itu panutan secara total.  Reduksi makna dalam pemahaman agama itu  cukup menyulitkan kita. Mengapa, bayangkan jika menyambut tokoh agama dengan rusuh, mengganggu kepentingan orang lain. Inilah resiko orang beragama dengan reduksi makna.

Jika kita melihat ada kegiatan agama yang dipimpin tokoh agama tetapi tidak tertib  dan mengganggu ketertiban umum  tentu kita bertanya. Sejatinya, jika kita orang yang beragama yang saleh maka dampak kegiatan kita adalah membuat orang lain terinspirasi dan aman dan nyaman.  Masa kegiatan orang saleh mengganggu ketertiban umum? Bukankah orang saleh lebih memikirkan orang lain dari diri dan kelompoknya. Orang saleh fokusnya kedamaian, kenayamnan orang lain.  Jika tidak,  maka tidak tepat kita orang yang saleh. Indikator kesalehan adalah dampak kita kepada orang lain. Orang Saleh mendahulukan dan memikirkan orang lain agar aman dan nyaman.

Dalam konteks Pilkada disadari atau tidak bahwa  semua kandidat menang dengan  mayoritas. Sejuta orang baik memlih  orang baik akan kalah dengan dua juta orang jahat memilih orang jahat. Dalam konteks inilah  disadari ada kompromi. Kompromi politik tanpa kehilangan  substansi demokrasi. Jika orang miskin atau cacat atau orang lemah  meminta ongkos  atau kebutuhan pokok  masih normal jika diberi. Tetapi dalam tafsir hukum kita tindakan bantuan itu adalah politik uang.  Debat panjang dan cenderung kusir membicarakan itu karena kita kehilangan akal sehat dan berbeda  kepentingan. Itulah runyamnya politik yang tidak rasional.

Jika kita mau jujur dan rasional, apa yang salah  jika Kader Politik yang kaya kasih uang ke kader politik yang miskin agar riang gembira melaksanakan  Pilkada?  Para kader politik kaya memberikan uang agar kader lain bakar-bakar ikan, ngopi bareng, atau acara kumpul kumpul  setelah  pulang dari Tempat Pemungutan Suara (TPS).  Pemberian uang dengan cara mendidik dan beradab tidak ada masalah, tetapi tafsir Badan Pengawas Pemilu bisa berbeda.  Tafsir menafsir berbeda antara kader Parpol dengan Bawaslu dan penggiat Pemilu.  Jika kita saling emapti maka  kita naik kelas dalam politik Faktanya,  tasir penegakan hukum kita masih berbeda.


Di tengah tafsir menafsir yang membuat ribet, maka kita hindari  batu sandungan. Jumlah masyarakat kita yang  kaku dan jauh dari kehidupan fleksibel harus kita jaga. Mengapa? Agar kita tidak menjadi batu sandungan.  Rakyat melihat  para kandidat dalam pesta ini.  Mereka berbeda menafsirkan politik uang dengan pelaku politik.

Dalam kondisi inilah kita harus bedakan kegiatan politik dengan keagamaan.   Tanpa melibatkan acara keagamaan pun bisa kita mengucap syukur kepada Tuhan. Bisa juga minta ampun kepada Tuhan atas kesalahan dan pergumulan kita. Jika Pilkada yang suhu politiknya tinggi ditambah tindakan bagi uang yang multi tafsir maka reduksi makna kegiatan doa akan hilang.  Kita harus menyadari tidak banyak yang memahami politik uang dan biaya politik. Apalagi jika politik uang benaran dan acara doa pula.  Apakah doa untuk melancarkan politik uang?. Jika ini yang terjadi maka jangan heran, orang saleh akan lebih jahat dari orang yang tidak mengenal agama.

 Dalam kegiatan sehari-hari sejatinya orang yang rajin doa lebih jujur, membawa kedamaian, membawa kenyamanan, keamanan, pemikiran kebersamaan, toleransi, pengertian dan sifatnya memberi atas kesulitan orang lain. Dalam kenyataan, acapkali orang mempertontonkan simbol-simbol keagamaan membuat orang lain terganggu dan tidak tertib. Sebaliknya, orang yang jarang bicara agama kelihatan baik, saleh, peduli sesame dan toleran.

Menjelang 9 Desember 2020  kita akan pesta. Kita menyambut pesta dengan budaya kita tanpa menunjukkan kita religius tetapi menyebarkan amplop sebagai politik uang benaran.  Doa atau sikap religius memang dihindari agar tidak menjadi batu sandungan. Semua kita berlomba berbuat baik tanpa menunjukan bahwa kita relijius. Pohon  tidak pernah mengumumkan bahwa  dia berbuah. Tanpa diumumkan, semua yang melihat mengetahui dan ingin menikmati buahnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun