"Tidak ada orang yang sempurna. Di tengah ketidaksempurnaan itu, kita kerja keras agar yang terpilih di Pilkada serentak tahun 2020 adalah yang terbaik. Terbaik baik bagi rakyat."Â
Tanggal 9 Desember tahun 2020 kita akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Kita menyadari ketika Covid 19 melanda dunia dan khususnya Indonesia sangat kelihatan siapa pemimpin yang cakap.
Di tingkat nasional mengalami kelabakan karena bahan baku farmasi, Alat Kesehatan (Alkes) sumbernya total dari impor. Walaupun demikian di tingkat pusat kepemimpinan Jokowi cepat tanggap dengan membuat Perpu, aksi nyata, realokasi dana dan relaksasi. Di daerah, khususnya Walikota dan Bupati hanya pura-pura ikut mengukur suhu supaya dianggap peduli rakyat.
Dalam kondisi yang amat runyam dan menakutkan ketika diawal Covid-19 sejatinya hal yang paling penting dilakukan Walikota, Bupati dan Gubernur adalah memimpin dengan mengintegrasikan semua kekuatan agar berfungsi secara total.
Bagaimana mengendalikan struktur pemerintahan, mengintegrasikan dengan organisasi kemasyarakatan, kekuatan swasta, BUMN/BUMD dan seluruh komponen bangsa untuk solid menghadapi Covid-19.
Melakukan sosialisasi dengan teknologi tanpa kerumun. Faktanya, para Bupati menyerukan agar tidak berkerumun dengan melakukan kerumun untuk mengumumkan. Tindakan beberapa Bupati yang menjengkelkan. Inikah potret Bupati/Walikota produk politik transaksional itu?
Tatkala masyarakat mengeluh melihat pemimpin daerah yang tidak cakap, Jokowi menutupi dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), sembako dan berbagai Bantuan Sosial (Bansos). Dan, bantuan itu disinyalir politisasi dan ada yang terlambat dibagikan.Â
Beragam reaksi dan kecepatan pemimpin di daerah tetapi itulah potret pemimpin di daerah. Pemimpin daerah yang dianggap cakap menyiasati dan menghadapi Covid-19 adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur NTT Victor Laiskodat dan lain sebagainya.
Melihat banyak pemimpin yang tidak cakap bahkan menjengkelkan karena Bansos dipolitisasi, masihkan rakyat tidak jera dengan politik transaksional?
Apakah mungkin terpilih pemimpin yang baik dengan cara transaksional? Apakah mutlak kita memiliki pemimpin harus tanpa politik transaksional? Jika harus politik transaksional, bagaimana caranya agar terpilih pemimpin yang cakap memimpin?