Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Etika Politik hingga "Berpacaran" Menuju Pilkada 2020

22 Juni 2020   07:44 Diperbarui: 23 Juni 2020   10:55 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melakukan lobi politik. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Dalam berpacaran jika ada ketidakcocokan dalam perjalanan cinta, bisa putus tetapi putus dengan baik-baik. Jika putus karena ada yang baru maka akan muncul luka dalam hati dan sulit akrab di kemudian hari. 

Jika putus cinta dengan baik maka akan bersahabat sepanjang hayat. Itulah pentingnya etika dan sportivitas berpacaran. Demikian juga politik, jika politisi menjaga etika dan nilai maka akan menjadi kekuatan politik yang sehat dan berkesinambungan.

Bagaimana cara menghindari pacaran yang sehat? Sejatinya ada perkenalan yang lama sebelum memutuskan pacaran. Jika cepat pacaran karena emosi maka potensi putus akan tinggi. Pertimbangan yang matang dari semua aspek sangat menentukan potensi putus ketika sudah berpacaran. 

Demikian juga di Pilkada tahun 2020. Kelihatan sekali para calon yang syahwat politiknya sangat tinggi. Melabrak etika dan nilai yang penting jadi calon. Bisa saja jadi calon karena segala cara, tetapi hasilnya bagi dirinya, keluarga dan rakyat akan sia sia dan menjadi sasaran kritik dan akan mengecewakan.

Cara ini tidak akan menghasilkan pemimpin yang baik. Orang-orang seperti itulah yang menghafal visi dan misi tanpa hasil kontemplasi. Ketika ada dialog public, hal-hal yang disampaikan ke publik adalah hafalan dari ahli yang diajak ke tim sukses.

Coba kita bayangkan di Pilkada 9 Desember tahun 2020 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah yang terdiri dari 9 Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, 224 Bupati/Wakil Bupati dan 37 Walikota/Wakil Walikota. 

Jikalau kita memiliki para calon pemimpin yang oportunis minus etika maka rakyat kita akan menjadi penerima sembako. Pemimpin tanpa karakter tidak akan mengahsilkan rakyat yang produktif secara kolektif.

Bangsa kita sangat membutuhkan pemimpin yang berkarakter dan roh bekerja untuk rakyat. Kita tak butuh pemimpin yang oportunis tanpa karakter.

 Manusia oportnis yang menjadi pemimpin di daerah tugasnya hanyalah bagimana cara menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pemimpin oportunis tidak akan kreatif dan inovatif memungsikan lembaga untuk melindungi dan memfasilitasi rakyat untuk produktif. 

Manusia oportunis hidup S2 atau Sor Sendiri. Menjaga kelanggengan kekuasaanya dengan segala cara. Rakyat tidak membutuhkan itu. Rakyat membutuhkan pemimpin berkarakter dan memberikan distribusi keadilan agar rakyat maju dan berkembang secara kolektif. Mewujudkan keadilan agar rakyat maju secara kolektif, itulah fungsi utama pemimpin. 

Mimpi memiliki pemimpin yang membawa keadilan hanyalah mimpi jika para calon merebut kekuasaan tanpa etika dan nilai. Karena itu, dibutuhkan peran Partai Politik (Parpol) dan pemilih yang cerdas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun