Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dendam Menjadi Lelucon

26 September 2017   10:30 Diperbarui: 26 September 2017   10:47 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Pagi ini saya mendapat pelajaran  berharga   dari Sukanta di tempat nongkrong para jemputan sekolah anak  saya. Sukanta, laki-laki separuh baya asal Raskas Bitung provinsi Banten.  Setiap bertemua di komunitas para sopir jemputan anak-anak sekolah,  kami dipastikan berkelakar segar. Kelakar-kelakar cerdas  di pagi hari dengan secangkir kopi.  Saya meledek istri saya soal kenangan-kenangan masa lalu.  Tiba-tiba saja Sukanta  memotong pembicaraan dengan berkata, "sepahit apapun kenangan, yang namanya kenangan pasti manis, namanya juga kenangan". Saya terpesona dengan kalimat Sukanta.

Pernyataan Sukanta  mengingatkanku   peristiwa minggu lalu. Ketika itu  saya telponan dengan sahabat saya sejak kecil di kampung halaman.  Kami satu kampung dan satu sekolah. Saya minta nomor telpon  adiknya, tetapi  sahabat saya itu mengatakan bahwa nomor telpon adiknya tidak dia simpan. Tentu saja saya kaget, ada apa?.  Apakah sahabat saya ini takut saya hubungi adiknya  karena curiga cinta lama bersemi kembali atau mereka tidak akur?.  Mungkin saja dia curiga karena di masa kecil kami  cukup dekat dengan adiknya yang memang "bunga desa"  ketika itu.  Iyah, bunga desa yang menginspirasi  anak-anak muda di kampung kami.  Banyaklah cerita tentang dia.

Setelah saya selidiki, ternyata dugaan saya salah. Sahabat saya itu benar tidak menyimpan nomor adik kandungnya, karena sakit hati sejak SMA 27 tahun yang lalu.  Ketika itu sahabat saya ini punya pacar dan pacarnya itu pacaran lagi dengan adiknya.  Padahal, dialah cinta pertamaku.  Ketika itu saya mengalah dengan  perasaan menyakitkan, ceritanya.  Berbagai  peristiwa membuat kami  sejak kecil tidak cocok, kata sahabatku ini. Andaikan sahabatku ini mendengar petuah Sukanta yang sopir jemputan itu, maka sakit hati itu sudah pulih total. Bukankah peristiwa itu setelah menjadi kenangan  menjadi peristiwa  yang sangat lucu?. Sudah waktunya kita terbahak-bahak mendengar peristiwa itu, bukan?.  Peristiwa lucu kok terkesan, dendam?. Amang jo, itonan?.

Sampai detik ini, istri saya masih kesal dengan saya. Dia selalu mengingat, kesalahanku. Ketika kami konflik, masih banyak kesalahanku yang diungkapkan.  Sialnya, dimataku tak satupun kesalahan istriku yang saya ingat. Sebab, bagi saya, paling lama 1 jam kesalahan istri saya yang  saya ingat. Pengahapus di hati dan pikiran saya memiliki  teknologi paling mutakhir. Jadi, ketika saya dan istriku konflik, saya bingung mau bilang apa. Sebab, tak satupun kesalahannya yang kuingat. Kesalahan saya yang paling fatal yang selalu diingat adalah ketika kami pacaran, saya tidak pernah memberikan bunga.  Bunga mawar permintaanya.  Ketika itu, saya ganti dengan cara jalan-jalan ke kebun raya Bogor agar menikmati banyak bunga di kebun itu.

Ketika itu saya mengatakan kepadanya, jangan bunga dipetik, tetapi bunga untuk dinikmati. Biarkan bunga-bunga itu dinikmati banyak orang. Ketika saya petik demi keinginanmu, maka bunga itu cepat layu.  Bunga kita biarkan merdeka  dan kita nikmati. Kita tidak boleh egois. Sama seperti burung  yang harus dibebaskan. Kita cukup mendengar kicauannya.  Kita nikmati burung-burung itu menikmati hidupnya. 

Saya kesal  dengan orang-orang kaya dan jenderal ketika orde baru jika memelihara  satwa liar di rumahnya.  Mereka memelihara harimau yang dikategorikan satwa langka. Mereka dilindungi Undang-Undang, tapi ketika itu tetap saja mereka pelihara. Betapa egoisnya mereka. Maklum, ketika itu saya kuliah di Ilmu lingkungan di pascasarjana IPB Bogor. Ketika itu antara ilmu dan tindakan saya selaraskan. 

Sedihnya, penjelasan itu belum diterima istri saya sampai saat ini. Dia tetap ingin bunga mawar yang saya petik. Supaya tidak ngambek, saya belikan saja  di pasar Modern dekat rumah kami. Tapi, sesungguhnya hanya untuk mengatasi ngambek saja.  Saya akan mencoba kompensasi dengan bunga deposito, tapi saya yakin dia tidak suka. Lagi pula, saya tak punya uang untuk itu.  Ternyata, memulihkan dendam bungan mawar yang dipetik  itu sangatlah susah.

Berbicara tentang dendam, sangat luas cakupannya. Dendam itu disebabkan berbagai peristiwa.  Dalam kehidupan keseharian,  kita mendengar   ada dendam politik, dendam karena cinta ditolak, dendam karena diceraikan, dendam karena calon mertua tidak meyetujui anaknya sama kita, dendam karena masa kecil miskin, dendam karena tidak dihargai, dendam karena salah bicara yang mengakibatkan tersinggung.  Dendam berakibat fatal dalam kehidupan kita.  Seorang suami  membunuh istrinya karena dendam  karena cemburu.  Karena itu, kita harus memiliki ilmu pengetahuan bagaimana cara mengatasi agar kita tidak pendendam. Dendam dalam diri kita bisa saja karena  pemikiran kita kerdil, picik, dan kita melihat hidup ini terlalu sempit.

Di kalangan intelektual,  masih ada dendam karena pernah kalah dalam pemilihan pengurus sebuah organisasi.  Organisasi mahasiswa, massa, kepemudaan,  serikat, yayasan,  dan di berbagai lembaga.  Bahkan, dendam di dunia birokrat karena berebut jabatan pun ada. Di semua lini dendam itu ada. Padahal, ciri seorang intelektual harus objektif, rasional dan realistis.   Seorang intelektual harus bebas dari rasa dendam.  Seorang intelektual harus rendah hati, berempati, jujur terhadap peristiwa dan berpikiran jernih dan jauh ke depan. Penyakit dendam membuat kita tidak lulus menjadi seorang intelektual yang mampu menjawab persoalan masyarakat.

Dalam keseharian kita,  banyak orang hanya mengingat kesalahan orang lain ketika terjadi konflik. Sebaliknya, lupa kesalahan orang lain ketika baik-baik saja atau ada "maunya".  Ketika konflik,  kesalahan orang lain itu diinventarisasi sampai ke akar-akarnya. Dan, secara total lupa kebaikan orang lain itu.  Padahal, leluhur orang Batak telah mengajarkan " ingot ma nadenggan, lupahon ma akka nahumurang" ( ingatlah kebaikan orang lain dan lupakan kekurangan itu).  Leluhur kita tidak pernah sekolah, tetapi mereka mengajarkan kita untuk matang dan bijak dalam bersikap.  Kita memang banyak lupa kebaikan-kebaikan dan filosofi nenek moyang kita atas nama modernisasi. Padahal, petuah leluhur telah teruji oleh waktu.

Lalu, bagimana kita bebas dari dendam dan bersikap menjadi seorang intelektual?.  Seorang intelektual harus mudah melupakan kesalahan orang. Gigih dan gagah mengembangkan hal-hal yang baik untuk menjawab persoalan masyarakat kita yang begitu rumit. Seorang intelektual harus mentertawakan hal-hal yang berbau dendam yang menjadi sebuah kekonyolan hidup. Sebab, dendam tidaklah objektif, rasional dan realistis. Bagaimana mungkin sahabat saya menjadikan sebuah "dendam" hanya karena pacaranya direbut adiknya?. Saya kira bukan adiknya yang merebut, tapi pacaranya yang merebut adiknya.  Dalam lagu dangdut itu diminati. Ingatlah judul lagu, " jadikana aku yang kedua". Adikmu hanyalah dipengaruhi lagu dangdut. Bukan karena niat, sahabatku. Tapi, karena ada kesempatan saja.

Penulis adalah aktivis sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun