Mohon tunggu...
Gunawan Mahananto
Gunawan Mahananto Mohon Tunggu... Freelancer - Ordinary people with extraordinary loves

From Makassar with love

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Ibu Saja adalah Hadiah Terbaik dari Ibuku untuk Anak-anaknya

26 Desember 2017   14:48 Diperbarui: 26 Desember 2017   14:53 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara.  Semua terlahir sebagai laki laki. Entah alasan apa, ibu tidak mengandung anak ke empat. Agar tercapai keinginan mempunyai anak perempuan. Saya cuma bisa  menduga duga, mungkin alasannya adalah karena akan sulitnya mengawasi anak anaknya yang semua laki laki.  

Ibu saya sebenarnya dulunya adalah seorang guru SD di kota kecil Bondowoso . Namun sejak kelahiran anak ke 2, Ayah saya minta Ibu berhenti mengajar dan fokus jadi ibu rumah tangga  dan mengurus anak anak yang mulai tumbuh besar. Meski penghasilan ibu cukup sebagai guru cukup memadai untuk membantu keuangan keluarga, namun ayah kami yang pegawai negeri golongan biasa, punya pemikiran, bahwa pengawasan dan bimbingan anak saat tumbuh,akan lebih bagus oleh orang tuanya sendiri. 

Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman ibu yang pernah jadi guru, maka tidak lah sulit bagi Ibu mendidik dan mengajar ilmu pelajaran dan budi pekerti di rumah kami.  Tiap malam , setelah makan malam bersama, adalah saat kami semua belajar di bawah bimbingan Ibu. 

Saya ingat betul , saat kelas 1 SD kami harus bisa membaca dan menulis dengan lancar. Saat kelas  2 SD, kami sudah harus bisa secara luar kepala ,hitungan perkalian 1 sd 10. Juga kami harus menghapal ibukota seluruh provinsi di Indonesia dan ibukota negara seluruh dunia. Disamping harus bisa hapal, kami juga harus bisa tahu posisi kota kota itu di atlas dunia yang ibu pasang di dinding rumah. 

Tidak ada hari dirumah kami tanpa membaca. Selain buku pelajaran sekolah, ada saja bahan bacaan di rumah, karena ayah kami juga berlangganan koran harian  Sinar Harapan , Majalah anak anak Bobo  dan Cergam atau cerita bergambar seperti  Moby Dick , Ivanhoe dll.   

Demi anak anaknya supaya tidak ketinggalan jaman, ayah kami pun, membeli dengan hutang pesawat TV. Barang yang sangat langka saat itu. Saya ingat  Piala Dunia 1978 , kami sudah menonton langsung pertandingan bola lewat pesawat TV kecil kami.  Saya ikut bersorak sorak  kegirangan saat idola saya dari tim Argentina bernomor 10 , Mario Kempes menjebol gawang  tim Belanda yang dikawal Jan Jongbloed, di laga final. Argentina saat itu menjadi juaranya. 

Selain kami di "ajak " hobby membaca , kami juga selalu di ajak nonton film bioskop oleh ayah kami. Hampir setiap ganti judul film , ayah kami selalu mengajak semua anak anaknya nonton. Khususnya film film barat yang bermutu dan film Rhoma Irama. Saat itu, akting dari aktor Alain Delon, Robert Redford , Steve Mcqueen dan  Roger Moore sudah tidak asing lagi  dibenak saya. Imajinasi kami sudah jalan kemana mana saat itu. Meski kami hidup di kota  kecil yang sepi di Jawa Timur , tapi pikiran kami sudah didorong menjangkau seluruh jagat raya.  Bahkan, karena seringnya kami nonton film dan saking kenalnya dengan para penjaga bioskop , yang bayar karcis cukup ayah kami. sedang anak anaknya gratis.  Maklum, waktu itu bioskop nya tanpa nomor tempat duduk. Jadi aman saja untuk dapat tempat duduk dimana saja. 

Perjuangan ibu mendorong anak anaknya untuk belajar selalu di rumah ,  membawa kami ke prestasi lumayan bagus. Kami bersaudara selalu lancar di  sekolah. Bahkan kerap mendapat rangking. Hingga kami dewasa  dan bekerja , kami lalu selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi kantor tempat kami bekerja.  Menjadi sosok andalan dan teladan di tempat kami bekerja dan lingkungan kami , adalah kebanggaan kami yang tidak ternilai. 

Kami memang tidak pernah di hadiahi oleh ibu barang barang bagus . Kecuali saat menjelang lebaran kami semua di jahitkan baju sendiri oleh ibu. Mesin jahit tua dirumah itu dipakai oleh ibu hanya saat menjelang lebaran untuk menjahit baju dan celana seluruh anggota keluarga.  Itu semua demi menghemat biaya saja , namun kami begitu bangga saat itu memakai pakaian buatan dan design dari ibu kami sendiri. Serasa waktu itu kami memakai pakaian baju rancangan dari designer ternama  ala Ivan Gunawan. 

Setelah besar dan dewasa, kami lalu sadar, perjuangan dan  pengorbanan orang tua kami sepenuhnya hanya untuk anak anaknya.  Ibu kami yang  korbankan karir gurunya , dan konsentrasi untuk menjadi ibu rumah tangga adalah suatu putusan yang sangat sulit saat itu.  Juga ayah kami yang nyaris tidak punya kesenangan pribadi, karena  semua penghasilan gajinya hanya untuk kebutuhan keluarga, khususnya  anak anaknya.  Itu semua hadiah tidak ternilai yang selama ini di berikan oleh ibu dan ayah kami. 

Di momen momen tertentu , saat saya harus menjadi orangtua bagi anak kami. kami selalu ingat dan terharu betapa hebat perjuangan ibu dan ayah kami.  Memang tidak semua yang pernah ibu dan ayah lakukan kepada kami, akan cocok kami praktekkan dengan kondisi jaman anak kami sekarang, yang  semua  sudah tergantung kepada gadget smartphone nya untuk membaca, menulis dan nonton film .  Namun paling tidak , hal paling mendasar yakni membaca, menulis, menghitung dan ahlak budi pekerti yang baik , sudah kami ajarkan dan tanamkan sejak usia dini.  Kami harap itu jadi pegangan anak kami mengarungi dalam kehidupannya kemudian. Orang tua jaman now, sekiranya, cukup satu dua langkah jalan di belakang , mengawasi anak nya jalan didepan meraih masa depannya.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun