Sebelumnya, kedudukan gender dalam tulisan ini berkenaan dengan kategori sosiologis (baca: status dan peranan) dan bukan seks, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dalam hal ini juga saya sependapat dengan Prof. Felix Tani, salah satu Kompasianer senior yang mengatakan bahwa, lema gender sebetulnya adalah kategori sosiologis dan bukan biologis.
Kira-kira begitu ya. Oke, mari kita masuk ke pembahasan.
Istilah gender dalam ruang lingkup petani Manggarai, lebih mengarah pada tingkat keadilan dan kesetaraan pada pelbagai kelas masyarakat, terutama pada tingkat yang lebih kecil, yakni rumah tangga petani.
Dengan adanya kesetaraan gender tersebut, akses yang merata kepada sumber daya petani laki-laki dan perempuan akan meningkatkan produktivitas pertanian.
Sehingga tak dapat dipungkiri, andil perempuan dalam rumah tanggga petani sangatlah penting dan tidak boleh lagi di pandang sebagai kaum kelas 2 (dua).
Lebih lanjut, seperti yang sudah saya terangkan pada beberapa tulisan sebelumnya bahwa, petani adalah profesi yang paling banyak digandrungi oleh masyarakat di Manggarai Raya (Barat, Tengah dan Timur).
Maka sudah menjadi kosekuensi logis, sub-sektor pertanian adalah tumpuan utama pendapatan ekonomi keluarga.
Menyigi Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga Petani Manggarai
Biila mendiskursuskan kesetaraan gender dalam ranah rumah tangga petani, saya ingin membedahnya menggunakan pisau sosio-kultural dan pengambilan keputusan, yang diejawantahkan sebagai berikut:
Pertama, faktor sosio-kultural, di mana adanya keterkaitan antar gender terhadap rumah tangga petani yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor dan/ atau karekteristik, yakni faktor in se (dalam diri petani itu sendiri), akses informasi, dan lingkungan.