Tulisan ini mengambil perspektif moral dan humaniora.
Di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), hubungan kekerabatan antar umat Katolik dan umat Islam sangat rukun dan harmonis sampai saat ini. Perbedaan kepercayaan lantas tidak dijadikan alasan untuk membangun tembok-tembok pemisah atau penyekat.
Masyarakat di Pulau Flores adalah masyarakat yang umumnya bertipe Askenden (baca: kuat dan permisif terhadap perbedaan).
Sejak dahulu kala hingga saat ini, masyarakat Flores mencebur diri ke dalam kubangan solidaritas. Anda bisa temukan perkumpulan orang-orang Flores yang begitu solid dan kuat di manapun di Indonesia.
Di Pulau Flores, solidaritas sosial menjelma sebagai budaya dan menjadi kearifan lokal tersendiri. Tersebab, kebudayaan masyarakat Flores itu bukan saja artefak masa lampau, melainkan masih kontekstual, relevan dan membumi hingga kini.
Diplomasi Ikan
Perlu saya jelaskan, bahwa Diplomasi Ikan di sini adalah terminologi yang saya pakai untuk menjelaskan "hubungan kekerabatan" antara dua agama besar, yakni Katolik dan Islam melalui jual beli ikan.
Di Pulau Flores, kita dapat dengan mudahnya mengidentifikasi etnisitas umat beragama berdasarkan letak demografi atau tempat tinggalnya. Dengan simplifikasinya, umat Islam cendrung tinggal di wilayah pesisir dan/ atau bermukim di dekat pantai.
Saudara-saudara umat Islam ini rerata berprofesi sebagai nelayan, petambak garam hingga pembudidaya rumput laut. Sisanya adalah guru dan juga wiraswasta. Mereka pun menyebut kami yang tinggal di pegunungan sebagai Ata Golo.
Sebaliknya, umat Katolik rerata tinggal di wilayah pegunungan dan agak jauh dari pesisir pantai. Profesi yang digeluti pun beragam. Mulai dari petani padi, pekebun cengkeh dan kopi, peternak, wiraswasta, guru dan lain-lain. Kami menyebut saudara umat Islam sebagai Ata Wa Wae (orang yang tinggal di pantai).
Setiap hari kedua umat beragama Samawi ini berjumpa dan bersosialisasi. Salah satu medium perjumpaannya adalah melalui jual-beli ikan.