Mohon tunggu...
Grace Laura Chisty
Grace Laura Chisty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

a person who loves to notice simple yet complicated things in this world.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Hustle Culture: Budaya yang Perlu Dibiasakan atau Justru Perlu Dibinasakan?

9 Juni 2022   12:04 Diperbarui: 9 Juni 2022   12:26 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah anda merupakan seorang pekerja keras yang mengejar keberhasilan dalam hidup? Apakah anda sering mengalami kelelahan setelah bekerja? Atau anda sering merasa tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan hal lainnya, kecuali bekerja? Jika anda pernah mengalami hal-hal tersebut, anda mungkin sedang terjebak di tengah hustle culture.

Hustle culture adalah budaya bekerja berlebihan, atau budaya bekerja secara konstan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jarang melebihi kapasitas diri sendiri. 

Tujuan yang hendak dicapai bersifat kapitalis, seperti kekayaan, kesuksesan, kemakmuran, dan lain-lain. Hustle culture menciptakan sebuah paham yaitu semakin seseorang bekerja keras, maka semakin mudah seseorang itu mencapai kesuksesan. 

Memang pola pikir ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi dalam hustle culture, makna bekerja keras yang dimaksud adalah bekerja terus-menerus tanpa adanya jeda. Orang-orang yang masuk ke dalam hustle culture memiliki pola pikir 'jangan berhenti bekerja meskipun saya merasa lelah'. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa tidak peduli seberapa lelah anda, tetap jangan berhenti bekerja.

Budaya bekerja keras hingga lupa waktu ini sangat erat kaitannya dengan seorang workaholic. Seperti yang anda ketahui, seorang workaholic cenderung bekerja lembur dan mereka cenderung tidak sempat melakukan apapun selain bekerja. Mereka mengalokasikan seluruh waktunya untuk bekerja. 

Selain itu, tidak jarang seorang workaholic merasa bahwa 24 jam dalam sehari adalah waktu yang kurang untuk bekerja. Mereka sangat terobsesi dengan pekerjaan mereka, dan terobsesi untuk segera menyelesaikan segalanya dengan sesingkat mungkin, atau bahkan secara bersamaan. Maka dari itu mereka merasa bahwa satu hari tidaklah cukup berdurasi 24 jam.

Dewasa ini, generasi muda Indonesia, khususnya generasi millenial dan generasi z lebih rentan terkena hustle culture dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Pada tahun 2020, Indonesia mengalami bonus demografi  yang menyebabkan komposisi penduduk dalam kategori usia produktif mencapai persentase 70,72% (BPS, 2021). 

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2020, BPS menyatakan bahwa sebanyak 25, 87% dari total populasi penduduk merupakan generasi milenial. 

Seseorang yang lahir pada tahun 1981-1996 disebut sebagai generasi milenial. Hal ini berarti bahwa terdapat kenaikan fenomena hustle culture seiring dengan kenaikan populasi generasi milenial di Indonesia karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa generasi milenial merupakan generasi yang cenderung mudah terkena hustle culture. 

Generasi milenial baik yang baru memasuki dunia kerja, maupun yang sudah memasuki dunia kerja, memiliki semangat serta ambisi yang sangat tinggi dalam hal pekerjaan. Generasi milenial mudah termotivasi untuk melakukan pekerjaannya dengan cepat dan sempurna. Selain itu, mayoritas generasi milenial memiliki sifat idealis. 

Mereka ingin memiliki hidup yang ideal seperti hidup mapan dan produktif. Mereka memiliki banyak goals atau target yang ingin mereka capai di umur yang muda. Maka dari itu, mereka akan mencoba dengan sekuat tenaga untuk memenuhi target tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun