Mohon tunggu...
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw) Mohon Tunggu... Penulis - Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Mengajar mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi. Lawyer/ Advokat spesialisasi Hukum Asuransi Dan Tindak Pidana Asuransi. Menulis untuk Keadilan, Bersuara untuk Menentang Ketidakadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Surat Terbuka Kepada Prof Eddy Hiariej: Menolak Vaksinasi Bukan Tindak Pidana

16 Januari 2021   14:56 Diperbarui: 20 Desember 2021   13:39 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika merujuk pada prasyarat sebuah tindakan atau perbuatan yang dapat dikriminalisasi menurut prasyarat kriminalisasi seperti yang tertuang dalam buku Teori dan Kebijakan Pidana karangan Barda Nawawi Arief dan Muladi maka, tindakan penolakan vaksin pun belum memenuhi persyaratan yaitu: bahwa suatu tindakan kriminalisasi tidak boleh menimbulkan overkriminalisasi, tidak boleh terhadap perbuatan yang sifatnya adhoc atau sementara, harus ada korbannya baik aktual maupun potensial, memperhitungkan ultimum remidium, enforceable dan mendapat dukungan publik serta berasaskan manfaat. Dengan melihat persyaratan pertama saja dimana Profesor akan menerapkan pidana kurungan dan denda 100 juta sudah terlihat overkriminalisasi nya. 

Hal hal lain yang tidak termasuk persyaratan sebuah perbuatan dapat dikriminalisasi adalah:

Pertama, Pengenaan sanksi pidana pada penolak vaksin tidak mencerminkan asas ultimum remidium sebagai ciri dari hukum pidana. Asas Ultimum Remidium adalah asas yang mensyaratkan bahwa hukum pidana merupakan senjata pamungkas atau senjata terakhir. Seharusnya agar mencerminkan asas ultimum remidium yang merupakan ciri hukum pidana tersebut, pemerintah baik di tingkat Nasional maupun tingkat Perda harus mengutamakan tindakan persuasif terlebih dahulu selain sosialisasi dalam hal vaksin ini, karena menolak vaksin bukanlah tindak pidana, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. 

Mendapatkan treatment kesehatan seperti halnya vaksin ini adalah "pilihan" bukan kewajiban. Sesuai asas ultimum remidium seharusnya pemerintah melakukan jalan lain dulu sebelum mempidana, misalnya dengan mengharuskan penolak vaksin untuk menandatangani surat perjanjian agar sekalipun dia tidak divaksin, dia harus melaksanakan protokol kesehatan dengan benar semisal memakai masker. Setelah upaya-upaya tersebut tidak berhasil baru diterapkan sanksi pidana. Itu baru mencerminkan sifat ultimum remidium, saya yakin professor pun tahu akan hal itu.

Kedua, kriminalisasi terhadap penolak vaksin tidak dapat dilakukan, karena sifat perbuatan, tindakan atau kejadian pandemi Covid 16 ini bersifat sementara (ad-hoc). Mengapa? Karena pengkriminalisasian hal-hal yang bersifat sementara akan membingungkan pemberlakuan norma yang ada di masyarakat. Contoh saat pandemi Covid 19 seorang yang menolak vaksinasi "dianggap kriminal", namun setelah pandemi berakhir apakah dia bisa dianggap terus sebagai kriminal? Tentu saja tidak. Pandemi ini bersifat sementara bukan permanen seperti halnya pandemi-pandemi lain di dunia, seperti cacar dll. Suatu saat penyakit ini akan dianggap sebagi penyakit biasa, dan belum pernah ada dalam sejarah penolak vaksin dipidana, karena sifat sementara dari kejadian ini. 

Kriminalisasi suatu tindakan tidak boleh bersifat sementara apalagi dalam jangka waktu yang sangat pendek. Bayangkan semisal ada yang dipidana kurungan karena menolak vaksin ternyata pandemi berakhir dengan cepat, apakah adil mempidana kurungan dan denda 100 juta padahal setelah itu penyakit covid ini bukan lagi dianggap penyakit yang parah dan mematikan? Pasti bapak Profesor yang adil dan tentu memiliki kemampuan yang pasti mumpuni dalam Hukum Pidana bisa melihat bahwa mempidana penolak vaksin tidak memiliki asas manfaat dan tidak mencerminkan keadilan, bahkan mengandung unsur kekerasan dan paksaan.

Ketiga, sebuah tindak pidana atau kejahatan harus memiliki "korban" baik aktual maupun potensial, sedangkan penolak vaksin belum dapat dipetakan dengan jelas korbannya yang dirugikan secara langsung baik aktual maupun potensial. Apakah dengan dia menolak vaksin langsung jatuh korban? Seperti misal seperti perbuatan membunuh, mencuri, korupsi dll yang korbannya bisa langsung dipetakan, demikian pula pelakunya, karena kita tidak bisa langsung bisa menentukan siapa orang yang menyebarkan penyakit. 

Hal ini disebabkan karena menekan penyebaran Covid 19 bisa dilakukan dengan berbagai cara, bukan hanya melalui vaksin. Selain itu beberapa ahli juga mengatakan bahwa vaksin tidak memberikan proteksi sempurna terhadap suatu penyakit dan kemungkinan terkena tetap ada. Jika seorang yang tidak divaksin Covid tapi tidak terkena Covid, apakah dia bisa menularkan penyakit? Sebaliknya karena vaksin juga tidak memberikan perlindungan sempurna, bisa saja orang yang sudah divaksin Covid terkena covid juga, seperti saya yang divaksin cacar tetap kena penyakit cacar. Nah justru dalam kasus ini yang divaksin Covid malah yang berpotensi menularkan penyakit kan? Contoh seperti kasus Raffi Ahmad kemarin yang langsung tidak memakai masker saat selesai vaksin padahal imun baru terbentuk saat vaksin booster yang kedua.

Dan bisa saja org yg divaksin covid lupa atau abai vaksin boosternya sehingga tetap tidak terlindungi seperti kasus Raffi Ahmad tadi. Ini penyebab dari apa? Tidak ada sosialisasi dari pemerintah, bahwa biar disuntik vaksin pun bukan berarti kebal 100 persen. Justru yang ditakutkan adalah setelah divaksin masyarakat abai protokol kesehatan dan jumlah penderita covid meningkat karena mengira jika divaksin mereka kebal seperti HULK ,  WIRO SABLENG atau SUPERMAN.

Selain itu menularkan penyakit pada orang lain bukanlah "suatu kejahatan". Jika menularkan penyakit adalah kejahatan, berarti kita bisa saja menuntut secara pidana orang yang pilek di angkot, di kereta dan di angkutan umum lainnya jika tiba-tiba kita terkena penyakit. Masuk akalkah demikian? Tafsir mempidana penolak vaksin menurut saya, sangat berlebihan dan tidak mencerminkan asas kemanfaatan dari suatu perbuatan dapat dipidana.

Keempat, dilihat dari dukungan publik pun, berdasarkan survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey, dukungan masyarakat terhadap vaksin semakin lama semakin menurun dan terlihat kurang meyakinkan, dikarenakan kekhawatiran akan keamanan dan keslamatan jiwa jika mendapat treatment vaksin tersebut. Berdasarkan survey dari Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC) kepercayaan masyarakat terhadap vaksin mendekati pemberlakuan vaksin secara nasional terasa kurang meyakinkan yaitu hanya 56 persen responden yang setuju untuk divaksin, dan dalam survei itu kesediaan warga di DKI Jakarta dan Banten untuk divaksin adalah yang paling rendah padahal Pemda DKI menerapkan sanksi pidana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun