Mohon tunggu...
Syukron
Syukron Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Akademisi hukum

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sejarah dan Sistem Perminyakan di Indonesia

19 Juli 2018   11:58 Diperbarui: 21 Juli 2018   22:10 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah industri perminyakan dunia mencatat bahwa industri migas di Indonesia (d/h Hindia Belanda) termasuk salah satu industri migas tertua di dunia. Kelahiran industri migas di Indonesia hanya terpaut beberapa tahun setelah industri minyak dunia lahir di Titusville, Pennsylvania, Amerika Serikat pada  27 Agustus 1859 yang ditandai oleh keberhasilan Colonel Drake mengebor sumur minyak pertama. 

Di Indonesia, pemboran minyak pertama dilakukan pada 1871, atau sekitar 12 tahun  sejak industri migas  dunia lahir.   Tetapi,  pemboran minyak pertama yang dilakukan oleh Jan Reerink di sekitar Gunung Ciremai, Jawa Barat, ini tidak berhasil menemukan minyak.

Walaupun Pemerintah Kolonial melalui The Royal Dutch Shell (perusahaan minyak Pemerintah Kolonial Belanda yang didirikan oleh A.J. Zijlker kemudian bergabung dengan Shell Transport dari Inggris) mempunyai posisi yang dominan, Pemerintah Belanda merasa  perlu  untuk  melindungi  perusahaannya  dalam  persaingan dengan perusahaan-perusahaan minyak lain. Untuk itu, IMW 1899  dikoreksi dengan melakukan pembatasan pemberian konsesi. 

Bahkan, pada  1904, pemberian  konsesi  baru dibekukan. Perubahan yang sangat penting atas IMW 1899 dilakukan pada 1918 dengan menambahkan 'Pasal 5 A' yang mengharuskan perusahaan yang berminat melakukan penambangan minyak di Hindia Belanda melakukan kontrak dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Tercatat, pada awal Abad XX terdapat 18 perusahaan minyak yang beroperasi di Hindia Belanda berdasarkan IMW 1899.

Setelah Indonesia merdeka, Sistem Konsesi atas dasar Indische Mijnwet 1899 ini terus berlaku sebelum ada UU baru yang menggantikannya, meskipun IMW 1899 tidak sejalan dengan Konstitusi Negara RI. Atas dasar IMW 1899 inilah kekayaan sumber daya alam Indonesia yang berupa minyak, gas dan bahanbahan tambang dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan minyak  asing  yang  beroperasi  di  Indonesia,  seperti  Shell,  Stanvac dan  Caltex yang memperoleh konsesi  hingga  90 tahun.  Sehingga, meskipun Indonesia sudah merdeka, seluruh tata kelola migas mulai dari hulu  hingga ke hilir berada di tangan perusahaan asing.

Sewaktu Perang Kemerdekaan, para pejuang dan pekerja minyak mengambil alih lapangan-lapangan dan kilang minyak di berbagai daerah dari tangan asing dan membentuk Perusahaan Minyak Nasional di tingkat lokal, yang nantinya menjadi cikal bakal dari tiga perusahaan minyak negara, yaitu Permina, Pertamin, dan Permigan. Atas usul Mr. Mohamad Hasan --anggota DPR mantan Gubernur Sumatra-- upaya untuk mengganti IMW 1899 diwujudkan dengan membentuk Panitia Negara  Urusan Pertambangan yang bertugas untuk menyusun Rancangan UU Pertambangan sebagai pengganti IMW 1899.

Gelombang  nasionalisasi  perusahaan-perusahaan  Belanda  terjadi pada 1950-an. Semangat nasionalisme masyarakat diperkuat oleh langkah pemerintah mengumumkan  Deklarasi Juanda 1957 yang menyatakan bahwa perairan di sekitar pulau-pulau merupakan satu kesatuan wilayah Republik Indonesia yang tidak terpisahkan. 

Sebelumnya, perairan/laut di antara pulau-pulau merupakan perairan internasional. Deklarasai Juanda baru diakui oleh dunia International melalui UNCLOS 1986.Pada 1960, terbit UndangUndang No.44/Prp/1960 tentang Migas dan UU No.37/Prp/1960 tentang Pertambangan. Perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia berubah status dari Pemegang Konsesi (Konsesioner) menjadi  Kontraktor  Perusahaan  Negara.

Asing tetap boleh melakukan kegiatan penambangan dengan berkontrak dengan Perusahaan Negara dalam bentuk Kontrak Karya. Tercatat, Perusahaan Minyak Caltex berkontrak dengan Permina, Perusahaan Minyak Stanvac dengan Pertamin dan Perusahaan Minyak Shell dengan Permigan.

Sistem Kontrak Karya di dalam UU No.44/ Prp/1960 menganut pola hubungan  'B to B', di mana yang berkontrak dari Pihak Indonesia adalah Perusahaan Negara. Pola ini berbeda dengan  pertambangan umum yang mengacu kepada UU No.11/1967, dengan  pola  'B  to  G'. Perusahaan Tambang Freeport misalnya, yang mulai   masuk di  Irian Jaya (Papua) pada 1967 berkontrak langsung dengan Pemerintah R I dalam bentuk Kontrak Karya atau'B to G'.

Dalam sejarah perminyakan nasional tercatat bahwa pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, di tanah air sudah lahir beberapa Perusahaan Negara dalam bidang perminyakan di berbagai daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun