Mohon tunggu...
Godefridus Palus
Godefridus Palus Mohon Tunggu... -

Aku warga negara Indonesia, yang mencintai dan bangga terhadap negaraku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

“Brahman” dan “Identitas Utama” Schelling

6 Mei 2012   14:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1.Pendahuluan

Pertanyaan pokok tulisan ini adalah apakah konsep tentang Brahman dalam Hinduisme sama atau berbeda dengan konsep tentang Identitas Absolut dalam filsafat Schelling. Pertanyaan tersebut menjadi batasan atau fokus bagi penulis dalam membahas studi banding ini. Dengan demikian, dalam tulisan ini tidak akan ditemukan rincian yang detail, baik mengenai Hinduisme maupun filsafat Schelling. Jadi, fokus penulis adalah untuk mengetahui Brahman dan Identitas Absolut.

2.Konsep Brahman dalam Hinduisme

2.1.Sejarah Singkat Konsep Brahman

Sesuai dengan teks Rig-veda dan Atharva-veda, sejak tahun 1200 SM, orang India menghormati kekuatan-kekuatan yang beragam atas dunia. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat termanifestasi entah dalam berupa pribadi yang kita sebut dewa-dewi, ataupun yang tidak berpribadi, atau pun campuran dari keduanya (sebagai sekaligus berpribadi dan tak-berpribadi).[1] Kekuatan-kekuatan atas dunia tersebut dihormati dengan upacara-upacara, persembahan-persembahan, kata-kata, dan rumusan-rumusan mantra. Hadiwijono mengatakan bahwa

“Pada zaman ini hidup manusia dikuasai oleh penyembahan kepada dewa-dewa, yang banyak sekali jumlahnya. Ada dewa langit, ada dewa angkasa, dan ada dewa bumi. Dewa awalnya berarti “terang”. Kemudian istilah itu dikenakan kepada segala sesuatu yang terang, misalnya, matahari, bulan, bintang, langit, fajar, hari, api, dan sebagainya. Berkaitan dengan itu para ahli umumnya berpendapat bahwa para dewata yang disembah oleh manusia pada waktu itu sebenarnya adalah kekuatan-kekuatan alam yang dipandang sebagai yang berpribadi.”[2]

Manusia India memandang dosa bukan sebagai kecemaran etis, melainkan sebagai kecemaran substansi, yang melekat pada orang berdosa tersebut dalam arti sebenarnya. Tentang hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam visi orang India mengenai bagaimana jadinya substansi yang mengalami kecemaran tersebut.

“Suatu substansi yang cemar harus mengalami proses pemurnian, dosa dilepaskan secara terus menerus sampai mencapai taraf hidup baik, lebih baik, dan lebih sempurna, sampai mencapai kesempurnaan dalam Yang Mutlak. Proses pemurnian itu terjadi dalam hidup dunia sekarang dan dalam kelangsungan hidup setelah kematian. Suatu dosa kalau tidak diganjar dalam hidup dunia sekarang, maka akan diganjar atau ditebus dalam hidup setelah kematian; saat mana seorang yang mati dilahirkan kembali rohnya dan mengenakan tubuh baru, entah tubuh itu statusnya semakin naik atau turun, misalnya, dari kaya menjadi miskin atau sebaliknya, dari manusia menjadi manusia-atas atau sebaliknya dari manusia menjadi hewan atau tetumbuhan dan seterusnya, sesuai dengan hukum karma, yaitu kualitas suatu status hidup baru sangat bergantung pada darma bakti dan tingkah laku manusia semasa hidupnya pada masa lampau.”[3]

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa orang India melihat dosa sebagai suatu kecemaran substansi. Dosa itu dilihat sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi keseluruhan dimensi jiwa dan jasmani manusia.

Pada zaman purba ini pemikiran atau mentalitas manusia India lebih terarah pada hal-hal duniawi, jika dibandingkan dengan zaman yang kemudian yang lebih terikat pada primitivitas dan alam dunia serta condong bersifat mistik. Tentang susunan dunia, misalnya, dunia ini terdiri atas tiga bagian, yaitu surga, langit, dan bumi.[4] Ketiganya dipimpin oleh dewanya masing-masing. Kecuali itu dunia yang tampak ini masih dianggap sebagai nyata, bukan khayalan. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa doa-doa yang dipanjatkan kepada para dewa itu adalah doa-doa mengenai perkara-perkara duniawi, misalnya, permohonan memiliki banyak anak atau kekayaan.

Orang India memandang teks-teks suci sebagai teks ispirasi. Teks-teks tersebut merenungkan misteri kehidupan manusia dan asal mula dunia. Sikap spekulatif sangat menonjol dalam teks-teks tersebut, seperti yang terlihat dalam teks-teks dan sastra vedis dari tahun 1000-600 SM, misalnya dalam Brahmana dan Upanisad yang tua. Orang India padamasa ini memiliki ritus-ritus yang semakin bersifat magis dan kosmis, dan mereka membawa persembahan, serta adanya ritus-ritus yang keras dan berbahaya.Orang yang mengetahui dan mengenal semua teks dan ritus-ritus tersebut akan menjadi penguasa atas segala-galanya. Sebab, pengetahuan ritual adalah kekuasaan.[5] Dan pengetahuan ini dapat menentukan potensi-potensi kosmis.

Orang India mencoba mengetahui dan mengerti kejadian-kejadian dunia yang misterius dan kompleks. Kemudian mereka mulai menyusun segala sesuatu dalam dunia kelihatan ini yang mempunyai nama, menghubungkannya satu sama lain, dan menilainya. Dengan menggunakan suatu cara yang primitif, yang berdasarkan pada identitas dua sebab dengan akibat yang sama; atas identitas nama atau gambaran dan benda-benda, atas identitas milik dan pemilik, dan sebagainya. Lama kelamaan dari semuanya itu berkembanglah pengertian tentang Brahman.

Dari sekilas sejarah konsep Brahman di atas – sebelum diperdalam dalam bagian berikutnya – kita dapat melihat secara implisit bahwa konsep tentang Brahman itu mengalami perkembangan.[6] Pertama, Brahman itu adalah nama Dewa. Kedua, kata itu kemudian berkembang artinya menjadi doa atau mantra, kemudian menjadi kumpulan pengetahuan suci tentang kurban. Ketiga, ketika kurban menjadi penting Brahman memiliki arti “kekuatan dasar alam”, yang kemudian menjadi “Unsur” dari segala sesuatu.

2.2.Apa itu Brahman?

Lalu, apa itu Brahman? Sebelum menjawab pertanyaan ini adalah perlu untuk mempertimbangkan beragam kata yang berkaitan dengan akar brh-.[7]Ada dua kata yang dieja secara sama, tetapi dengan aksen yang berbeda. Kedua kata itu adalah brhman dan brahmn (nominatif tunggal dari brahma. Brhman, jenis netral, mempunyai arti “ucapan suci.” Brahmn, jenis maskulin, mempunyai arti pertama-tama “dia yang memperoleh kuasa dari ucapan atau sabda suci,” dan yang demikian itu bisa berupa dewa atau pun manusia. Sang brahmn dewani mengkristal dalam sosok tunggal yang mempergunakan nama tersebut. Para Orientalis lebih suka menyebutnya Brahma (dengan menggunakan nominatif tunggal dan bukan akar kata tersebut untuk menghindari kesalahpahaman). Dalam sistem di kemudian hari Brahma akan dikenal sebagai dewa pencipta par excellence. Namun brahmn dapat juga dikenakan untuk manusia – seorang Brahmin atau Brahman – tetap dalam arti ini kata tersebut pelan-pelan diganti oleh kata Brahmana, yakni seorang anggota dari kelas tertinggi, kelas para imam. Kata Brahman juga merupakan nama untuk teks-teks ibadat kurban dalam induk kitab Veda.

Penjelasan filologis atas kata Brahman kiranya relevan di sini. Penjelasan tersebut tidak saja karena hal itu boleh diharapkan untuk menjernihkan pikiran kita, tetapi juga karena hal itu memberikan gambaran tentang cara-cara bagaimana, bukan hanya mungkin, malahan logis, kaum Brahmana dari periode di kemudian hari harus dianggap sebagai dewa-dewa di antara manusia. Pada mulanya mereka hanyalah imam-imam biasa yang diberi kepercayaan untuk membacakan kitab Veda, sabda-sabda suci. Setelah brhman menjadi mapan sebagai dasar yang tidak berubah dan abadi dari semesta alam, arti penting kaum Brahmana secara harafiah mendapatkan keabadian pula. Dari “ucapan suci”, brhman memperoleh arti yang lebih umum “kekuatan suci” sebagaimana adanya: “yang mengenal brhman dalam diri manusia, mengenal tuhan yang mahatinggi”. Brhman dalam manusia dengan demikian sama dengan brhman dalam Tuhan. Yang sangat berarti dalam hal perkembangan gagasan mengenai brhman adalah madah dari Atharva-Veda, 10.2:

“”Dengan apa”, tanya sang penyair, “seseorang sampai pada Tuhan yang mahatinggi? … Dengan apakah orang mengukur tahun?” “Brahmalah yang mencapai Tuhan yang mahatinggi… Brahmalah yang mengukur tahun.” Brahmalah yang melingkupi para dewa dan umat para dewa Brahma pulah yang merupakan kekuatan secular yang sebenarnya. Bumi ditopang oleh Brahman, Brahman adalah langit yang dipasang di atas; dialah atmosfer yang membentang luas di atas, merentang jauh; dialah hakikat halus yang meresapi seluruh alam raya dan memungkinkan manusia untuk tumbuh ke segala penjuru mata angin. Berkat Brahman manusia dapat hadir di mana-mana karena Brahman “terbungkus dalam immortalitas” dan manusia sendiri adalah “kota Brahman”.” [8]

Madah tersebut memuat hal bahwa manusia lewat partisipasinya dalam Brahman menjadi sama luasnya dengan semesta alam. Di dalam Brahman makrokosmos dan mikrokosmos bertemu, tetapi kesatuan ini hanya dicapai sepenuhnya di dalam diri para Brahmana (para imam) dan Brahmacarin (orang yang mengikuti jejak Brahman, yakni siswa muda dari Brahmana) yang merupakan tempat tinggal Brahman. Jadi, sudah dalam Atharva-Veda pendewaan manusia dimulai. Pada masa Upanisad terjadi penemuan besar, yaitu sintese antara Brahman/Atman. Atman adalah identifikasi dari jiwa individual dengan dasar alam semesta, Brahman. Upanisad mengidentikkan taraf terdalam dari “aku” yang subjektif dengan dasar dari alam semesta yang objektif.[9] Hanya saja Atman merupakan istilah khas untuk menunjuk pada pendukung segala tindakan manusia dan kekuatan manusia. Ia sungguh-sungguh pusat manusia, inti dari kesejatian dan kemanusiaan manusia.[10]

Dari pemaparan di atas kita dapat mengatakan bahwa Brahman[11] sebagai Unsur dari segala sesuatu berarti substansi tertinggi, murni, ada-dalam-dirinya-sendiri-yang abstrak, yang memuat semua yang terbatas dan yang partikular. Ia adalahsubstansi yang murni dalam artian tidak terbatasnya “ada-dalam-dirinya-sendiri.” Ia tidak berbeda baik di dalam maupun di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang muncul dan hilang kembali; singkatnya, Ia bukan sesuatu tetapi merupakan kesatuan yang abstrak. Ia tidak berbentuk dan tidak terbatas, tidak dapat dibahasakan dan tidak dapat dipikirkan. Segala upaya untuk menggambarkan atau melukiskan Brahman akan membawa kita kepada hal-hal yang partikular dan yang bukan esensial. Brahman adalah kesatuan yang abstrak dan tidak terbatas, kesatuan sebagai ketiadaan, namun bersifat universal dan abstrak, substansi yang tidak terbatas, substansi tanpa subjek, ada murni, tanpa ada satu pembatasan konkret dalam dirinya, keabadian dari “ada-dalam-dirinya sendiri.” Ia sekaligus kekuatan tertinggi pribadiah dan tidak pribadiah. Ia menciptakan dan meresapi segala-galanya. Ia adalah Roh Mutlak yang tidak dapat mati, sumber dari segala yang ada di dunia ini.[12] Brahman ada dalam segala sesuatu.

Brahman bekerja dalam dunia melalui Trimurti: Brahma, Shiva dan Vishnu. Ketiganya adalah prinsip atau potensi yang berusaha saling memisahkan. Brahma, “Allah yang riel”, merupakan Allah masa lampau, Allah yang hilang dan lupa tanpa gambar-gambar dan kuil-kuil. Śiva mendominasi kesadaran India. Ia adalah prinsip yang merusak, tetapi bukan dalam suatu pengertian yang jahat: Ia membinasakan Brahma, yang adalah kekuatan dari prinsip nyata (real) yang menahan manusia dalam perbudakan. Visnu tampaknya memperbaiki kesatuan yang hilang dan rusak tersebut. Visnu meniadakan Śiva dan fungsi-fungsi sebagai prinsip yang pada dasarnya sektarian dan memecah belah.

“Achieving union with Brahman and ceasing to be reborn is the goal of every Hindu.”[13] Pencapaian persekutuan dengan Brahman ini tidak melalui proses teleologis yang bersifat lenear, melainkan melalui proses siklis. Dalam kita Brahmana diajarkan tentang reinkarnasi. Bahwa kehidupan manusia, entah itu baik atau buruk, akan mengalami proses kelahiran kembali. Dalam Kitab Upanishad, khususnya dalam pembicaraan mengenai imanensi Brahman – yang bercorak monistis dan absolut – dalam alam semesta, juga dibicarakan tentang evolusi siklis, atau perubahan atau kelahiran kembali. Sebelum sampai menyatu dengan Brahma, segala sesuatu, misalnya manusia harus lebih dahulu mengalami proses kelahiran, mati dan dilahirkan kembali sebagai akibat dari Karma. Dan untuk sungguh-sungguh sampai pada penyatuan dengan Brahman manusia harus sanggup melepaskan segala keinginannya yang menghambat penyatuannya dengan Brahman. Jadi, Brahman adalah tujuan dari segala sesuatu.

3.Schelling

Sebelum kita melihat pemikiran Schelling, kiranya kita perlu sedikit mengenal riwayat singkat hidupnya. Kemudian kita akan melihat apa minat filosofis Schelling. Apakah pemikirannya memiliki kesamaan atau perbedaan dengan konsep tentang Brahman dalam tradisi filosofis India.

3.1.Riwayat Hidup

Friedrich Wilhelm Joseph Schelling dilahirkan di kota Leonberg, Würtermberg, tahun 1775 dari keluarga saleh; ayahnya adalah pastor Lutheran. Dalam usia lima belas tahun dia sudah kuliah di Universitas Tűbingen. Teman-temannya pada Universitas ini adalah Hegel dan Hölderlin. Bersama Johan Gottlieb Fichte (1762-1814), Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Schelling – ketiganya adalah filsuf Idealisme Jerman – tampil untukmengembalikan metafisika yang telah ditolak oleh Kant. Namun, metafisika yang mereka usung tidak menekankan peranan iman dan rasio seperti metafisika tradisional, melainkan menekankan kemampuan rasio manusia. Rasio di sini dipahami bukan rasio tertentu yang dimiliki orang tertentu, melainkan sesuatu yang menguasai realitas keseluruhan. Rasio tidak dipahami sebagai subjek tertentu (diriku), melainkan sebagai suatu inteligensi yang mengatasi individu, suatu ”Subjek Absolut.“ Sebelum mengikuti gaya filsafatnya sendiri, Schelling adalah pengikut Fichte. Pada usia 23 tahun, tahun 1798, ia menjadi pengajar di Universitas Jena. Sebelum menerbitkan karyanya sendiri Phenomenology of Spirit pada tahun 1806, Hegel mendukung pemikiran Schelling. Sepuluh tahun setelah kematian Hegel, pada tahun 1841, Friedrich Wilhelm IV dari Prusia memanggil Schelling datang ke Universitas Berlin untuk ”menghapus pengaruh besar Hegelianisme.“ Setelah beberapa tahun, Schelling mengundurkan diri dari jabatan bergengsi ini.

Sejak tahun 1802, minat Schelling terhadap tema-tema yang berkaitan dengan agama dan cerita-cerita rakyat mulai muncul. Secara khusus ia memberikan kuliah tentang Philosophy of Mytology sejak tahun 1828. Versi terakhir dari topik ini diberikan pada tahun 1845-1846. Kuliah-kuliah ini berisi uraian mengenai tradisi India dan tradisi Timur lainnya. Schelling meninggal pada tahun 1854 di Bad Ragaz.

3.2.Minat Filosofis Schelling: Identitas Absolut

Minat Schelling dalam seluruh pergumulan filosofisnya adalah ”memahami realitas sebagai identitas absolut, yaitu kesatuan antara subjek dan objek, Roh dan Alam.“[14] Kesatuan antara subjek dan objek tersebut tidak ditemukan dalam Kant oleh karena Kant menekankan peran subjek dalam membentuk kenyataan secara a priori. Akibatnya adalah Kant menghasilkan das Ding an sich“ yang tidak dapat dikenal. Bagi Schelling tidak mungkin ada objek yang terpisah dari subjek. Menurut Schelling, sesungguhnya sudah terjadi hubungan antara subjek dan objek ketika subjek memasukkan kerangka a priori tertentu pada kenyataan. Pada pihak lain Fichte telah berhasil menghapus das Ding an sich itu. Akan tetapi, Fichte kemudian mengutamakan subjek daripada objek; mengutamakan Roh daripada Alam.[15] Untuk menghapus dikotomi tersebut atau untuk mencapai kesatuan subjek dan objek, Roh dan Alam, menurut Schelling, mesti dicari pada tataran yang dicapai oleh refleksi, yakni dalam bentuk filsafat. Melalu refleksi itu mesti diperlihatkan bahwa Alam objektif merupakan sebuah sistem terpadu yang dinamis yang mengarah pada tujuan tertentu, yaitu kembali pada dirinya sendiri. Dalam proses itu, Roh adalah pengetahuan Alam mengenai dirinya sendiri.[16]

Jika diterima bahwa Alam dipahami sebagai sistem teleologis, maka tidaklah tepat kalau sistem Alam dilukiskan hanya sebagai mekanisme belaka. Karena itu, Alam mesti dilukiskan sebagai organisme hidup yang mengarah kepada suatu tujuan akhir tertentu. Sistem teleologis itu dapat juga dipakai untuk memahami proses dari Alam yang lama kelamaan dapat mengenal dirinya sendiri. Menurut Schelling, setiap eksperimen ilmiah merupakan dialog antara manusia dan Alam. Melalui eksperimen ini Alam mengenal dirinya (bukan manusia mengenal Alam) karena Alam menyesuaikan dirinya menurut tuntutan-tuntutan rasio. Ketika pengetahuan semakin lengkap, maka dapat dikatakan bahwa Alam sudah mengenal dirinya kembali dalam refleksi. Lain kata, terjadi sebuah identitas antara Alam dan refleksi Alam mengenai dirinya dalam dan melalui manusia atau Roh. Itulah ”identitas murni“ antara subjek dan objek.

Kita kembali pada kritik Schelling atas pemikiran Kant. Menurut Schelling, adanya noumena karena Kant lebih menonjolkan peranan subjek. Noumena itu dapat dihapus melalui refleksi, yang memperlihatkan bahwa Alam objektif itu merupakan sebuah sistem terpadu yang dinamis yang mengarah pada tujuan tertentu, yaitu kembali kepada dirinya sendiri. Dalam proses itu sendiri Roh adalah pengetahuan Alam mengenai dirinya sendiri. Dengan demikian, alam bukanlah sesuatu yang asing atau terpisah dari kesadaran atau Roh. Kalau proses pengetahuan Alam melalui Roh itu mencapai tujuannya, bahkan bisa dikatakan Alam identik dengan Roh karena Alam adalah Roh yang tampak dan Roh adalah Alam yang tampak.[17]

Dalam pandangan Schelling, bila dipandang pada dirinya sendiri, Yang Absolut itu bersifat sama sekali netral, tidak material dan tidak spritual, tidak objektif dan tidak subjektif.[18] Yang Absolut itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pengetahuan yang tidak berlangsung dalam proses waktu. Dalam satu tindakan itu, dapat dibedakan tiga tahap atau momen yang serentak ada. Pertama, Yang Absolut mengobjektifikasikan dirinya dalam proses universal alam atau Alam ideal yang lalu terejawantah dalam alam material yang mengandung benda-benda khusus. Alam material ini adalah penampakan alam ideal yang ”keluar dari Yang Absolut“. Kedua, Yang Absolut yang sudah menjadi objektivitas itu berubah menjadi Yang Absolut sebagai subjektivitas. Dalam arti ini, Alam material yang direpresentasikan dalam dan melalui pikiran manusia. Dalam pikiran manusia alam material yang bersifat khusus itu diuniversalkan secara konseptual. Maka, sebenarnya muncul alam ideal dalam pikiran manusia. Ketiga, Yang Absolut sebagai objektivitas menjadi satu kesatuan dengan Yang Absolut sebagai subjektivitas. Ketiga momen ini bukanlah proses waktu, melainkan satu tindakan pengetahuan, maka berada dalam identitas absolut, yang tidak mengenal prioritas antara Roh dan Alam, subjek dan objek, dst.. Dengan demikian, yang absolut dalam tatanan ideal adalah yang absolut dalam tatanan riel: Roh identik dengan Alam. Inilah filsafat Identitas Absolut Schelling.

4.Kesimpulan

Masing-masing sudah dipaparkan konsep tentang Brahman dalam filsafat India dan Identitas Absolut dari pemikiran Schelling. Lalu, apakah Brahman sama atau berbeda dengan Identitas Absolut Schelling?

Kita dapat mengatakan bahwa baik Brahman dalam Hinduisme maupun Identitas Absolut dalam pemikiran Schelling memiliki karakter netral. Keduanya adalah asal dan tujuan dari segala sesuatu. Keduanya adalah identitas monistis, tunggal, absolut, tetapi meresapi dan melingkupi segala sesuatu. Akan tetapi, proses kembalinya segala sesuatu kepada Brahman dan kembalinya Alam kepada Roh merupakan dua gagasan yang berbeda. Kembalinya segala sesuatu kepada Brahman dalam pemikiran Hinduisme terjadinya melalui proses waktu siklis (reinkarnasi atau evolusi siklis). Sebaliknya, proses penyatuan Alam dengan Roh dalam pemikiran Schelling bukanlah suatu proses waktu, entah proses waktu itu bersifat linear maupun siklis. Penyatuan Alam dan Roh terjadi sedemikian, sehingga melampaui kategori waktu. Peniadaan proses waktu inilah yang kemudian dikritik oleh Hegel. Hegel berpendapat bahwa Schelling tidak memahami alam sebagai proses perwujudan diri dari Roh. Roh dalam pemikiran Schelling dipandang pada dirinya sendiri. Padahal untuk sampai pada dirinya sendiri, menurut Hegel, Roh itu harus menyatakan dirinya dalam Alam lebih dahulu.

Daftar Pustaka

Buku-buku:

Copleston, Fredrick, A History of Philosophy, Vol. VII, New York: Dobleday, 1965.

Fernandez, ST Ozias, Humanisme: Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, Ledalero: Sekolah

Tinggi Filsafat Teologi, 1983.

Halbfass, Wilhelm, India and Europe: An Essay in Understanding, New York: State University

of New York Press, 1988.

Hardiman, Frans Budi, Filsafat Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Reksosusilo, Stanislaus, Sejarah Awal Filsafat Timur: Hinduisme, Budhisme, Filsafat Cina

Awal, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.

Takwin, Bagus, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta:

Jalasutra, 2001.

Toynbee, Arnold, Life After Death, London: Weidenfeld and Nicolson, 1976.

Zaehner, Robert C. Kebijaksanaan dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Internet:

“Brahman”, dalam http://encyclopedia.farlex.com/brahman.htm, diakses pada Senin, 29 November 2010.

[1] S. Ozias Fernandez, Humanisme: Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, (Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, 1983), hlm. 174

[2] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 13.

[3] Arnold Toynbee, Life After Death, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1976), hlm. 85.

[4] Hadiwijono, Op. Cit., hlm. 15.

[5] Fernandez, Op. Cit., hlm. 175.

[6] S. Reksosusilo, Sejarah Awal Filsafat Timur: Hinduisme, Budhisme, Filsafat Cina Awal, (Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008), hlm. 16.

[7] Penjelasan tentang kata tersebut sepenuhnya diambil dari Robert C. Zaehner, Kebijaksanaan dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 43.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun