Sepertinya arus informasi pasca bom granat Sarinah mulai memberi angin positif. Baguslah. Puji Tuhan.
Tetapi semalam ada tayangan yang begitu menenangkan batin saya, sekitar pukul 01.00 CNN Indonesia menayangkan wawancara eksklusif dengan Mohammad Jibriel, pendiri arrahmah.com. Salah satu website islam tentang jihad. Sewaktu itu saya mendapat kabar sari teman saya Ryan sekitar jam satu pagi via WA. Jibriel mengaku mengenal salah satu pelaku bom tersebut.
Dengan tergesa-gesa saya membatalkan tidur saya, padahal saya sudah sangat ngantuk tetapi seketika perasaan kantuk itu seketika hilang. Dalam wawancara eksklusif yang sangat disayangkan harus diputar jam 1 pagi (siapa yang nonton jam segitu kecuali manusia kalong seperti saya) saya menemukan ada banyak pencerahan.
Pada malam sebelum menonton wawancara dengan Jibriel, ayah saya menekankan masalah terorisme lebih akrab dengan kesenjangan ekonomi ketimbang agama. Mengapa teror menjadi terkesan perjuangan agama, karena nilai-nilai agama (apapun) selalu bisa mengakomodasi dan membenarkan tindakan heroik atau tindakan memperjuangkan keadilan. Agama tidak memberi tahu jalan seperti apa untuk mencari keadilan, agama hanya memberikan jargon besar "keadilan adalah keniscayaan."
Ayah saya benar, Jibriel pun membeberkan sejumlah hal yang tak pernah dipikirkan sejumlah media massa lain. Bukan tentang janji menikah dengan Bidadari setelah jihad, atau ini adalah perjuangan ISIS menjadikan negara sebagai negara islam, tetapi motif utama pelaku teror Bom Sarinah adalah pemerintah.
Jibriel tak menampik bahwa aksi ini sudah direncanakan sejak lama. Jika pemerintah mengklaim dirinya tak abai, sesungguhnya pemerintah berbohong. Pemerintah harus mengakui dia abai dan kurang tangkas dalam merespon ISIS. Hal itu menjadi peluang bagi pelaku teror untuk semakin percaya diri melaksanakan aksinya.
Pernyataan yang paling menggelitik saya adalah ketika Jibriel mengatakan, teror ini bukan ditujukan kepada masyarakat sipil, tetapi kepada aparat keamanan, polisi, tentara, BIN, dan khususnya Densus 88. Mengapa demikian? Menurut Jibriel, pihak ISIS Indonesia ini merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Mengapa pemerintah merespon OPM dengan cara yang lebih baik, kooperatif, mengajak diskusi (meskipun beberapa kasus menurut catatan saua sebelumnya ada tumpah darah juga kok), sementara untuk sebuah ideologi lain seperti ISIS, pemerintah sangat represif?
Ketidakadilan itu mendorong kebencian dalam benak pelaku untuk membuktikan eksistensinya. Jadi ini bukan sekadar ego dari ISIS Pusat yang katanya berkata Indonesia akan menjadi perhatian dunia. Sesungguhnya pelaku teror BOM kemarin ingin menghabisi polisi, BIN, dan Densus 88. Hal itu terbukti karena mereka menelanjangi aparat dengan mengambil lokasi pusat keramaian Ibu Kota, Sarinah. Dan ya, mereka pantas tertawa karena intelijen kita kebobolan. Dia pun mengakui masih ada plan lainnya yang direncanakan tim teror ini, entah kapan akan dilaksanakan.
Jibriel mengatakan, aksi Sarinah adalah aksi yang gagal, karena masyarakat sipil ada yang menjadi korban. Jibriel bersikeras berkata pelaku teror sama sekali tak ingin meneror apalagi menghabisi nyawa masyarakat sipil. Namun ketika masyarakat sipil menjadi korban, saat itu pula rencana teror gagal, tetapi setidaknya mereka mengukir prestasi bahwa keberadaan mereka sungguh diperhitungkan.
Jibriel menyarankan pemerintah bersikap adil dengan memberikan perlakuan yang sama kepada semua aksi separatis, baik itu ISIS ataupun OPM, mungkin dengan cara itu aksi teror bisa melunak.
Unik sekali bagi saya mendengar pernyataan Jibriel dan mengaitkannya dengan kata kata ayah saya. Ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan perlakuan. Ketidakadilan selalu mendorong perlawanan. Lalu OPM, dan kasus Freeport yang kemarin diangkat publik hanya karena takut isu dialihkan kepada kasus berdarah Sarinah. Epik nian pikiran picik itu.Â