Mohon tunggu...
Gloria Alicia
Gloria Alicia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta prodi Ilmu Komunikasi

Ecclesiastes 3:11

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ABDI DALEM KRATON, SERING SUNGKAN?

11 Oktober 2020   21:25 Diperbarui: 11 Oktober 2020   21:46 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara yang dikenal ramah dan sangat sopan di mata dunia, sehingga hal ini secara tidak langung juga menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Tetapi ternyata banyak juga yang belum bisa membedakan antara sopan santun dengan "sungkan". Kebanyakan orang Indonesia, terutama orang jawa seringkali merasa "sungkan" apabila ingin menyampaikan atau melakukan hal yang mereka inginkan didepan orang lain.  Pengertian kata "sungkan" dalam bahasa jawa menurut saya adalah perasaan tidak enak hati kepada orang lain karena adanya rasa menghormati. Berbeda dengan sopan santun yang merupakan tingkah laku atau tindakan manusia menurut tata susila atau tata krama yang ada (Harjanti & Suryanti, 2019). Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara sopan santun dengan "sungkan" sehingga  tidak banyak juga diantara mereka yang merasa bahwa mereka sudah melakukan sesuatu yang sopan padahal sebenarnya yang mereka lakukan adalah sikap "sungkan" bukan sikap sopan santun.

Sikap "sungkan" ini sangat berhubungan erat dengan Budaya Konteks Tinggi dan Konteks Rendah, terutama budaya konteks rendah. Budaya konteks ini dikembangkan oleh E.T.Hall yang berguna agar dapat mempermudah di dalam mengamati perbedaan dan persamaan budaya dari segi persepsi maupun budaya. Hall membagi menjadi dua klasifikasi konteks budaya, yaitu konteks tinggi dan rendah. Masyarakat dalam budaya konteks tinggi tidak hanya bertukar informasi secara verbal saja, tetapi juga non-verbal karena masyarakatnya bersifat homogen (2010, h. 256). Hofstede dalam Samovar, Porter, & McDaniel (2010, h. 257) mengatakan bahwa budaya konteks tinggi digunakan oleh budaya yang masih tradisional karena seiring berjalannya waktu, sejarah dan tradisi mulai berubah. Komunikasi konteks tinggi bersifat tidak langsung dan mengandung banyak pesan implisit, sehingga dalam pemaknaan sebuah pesan hanya dapat dipahami dalam konteks pesan tersebut. Negara yang menggunakan konteks rendah adalah Amerika, Jepang, Arab, Cina, Korea. Berbeda dengan budaya konteks rendah. Komunikasi dalam budaya konteks rendah ini lebih berterus terang dalam berbicara dan eksplisit (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010, h. 257). Komunikasi yang disampaikan tidak berbelit-belit dan biasanya hal ini terjadi di budaya barat. Negara yang biasanya menggunakan budaya konteks rendah memiliki masyarakat yang bersifat heterogen, seperti Jerman, Swiss, Skandinavia, dan Amerika Utara (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010, h. 257).

Dimensi selanjutnya adalah menghindari ketidakpastian yang dikemukakan oleh Hofstede. Dalam dimensi ini, dibedakan menjadi dua, yaitu ketidakpastian tinggi dan ketidakpastian rendah. Dalam ketidakpastian tinggi ini menghindari ambigutias dengan cara menyediakan kestabilan untuk anggotanya dengan protokol sosial yang formal, perilaku serta ide menyimpang yang tidak dapat ditoleransi, lebih menekankan konsensus dan tahan terhadap perubahan (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010, h. 240-241). Mereka percaya bahwa hidup berpotensi membawa bahaya yang berkelanjutan dan membutuhkan hukum, rencana, peraturan, ritual, perayaan tertulis, serta protocol struktur dalam kehidupan. Terdapat beberapa negara yang menganut ketidakpastian tinggi, antara lain Portugis, Yunani, Peru, Jepang. Sedangkan ketidakpastian rendah adalah masyarakat yang mudah dalam menerima ketidakpastian yang ada dalam hidup atau fleksibel, lebih bertoleransi, merasa terancam dengan pandangan dan orang yang berbeda. Mereka juga sangat menghargai insiatif. Negara yang menganut ketidakpastian rendah adalah Swedia, Denmark, Irlendia, Amerika Serikat (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010, h. 242).

Perpaduan dua dimensi diatas tercermin dalam sikap Abdi Dalem Kraton Solo maupun Jogja. Abdi dalem merupakan aparatur sipil yang memiliki tugas sebagai pelaksana operasioanal dalam setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Mereka juga mengebadikan dirinya untuk melayani keraton dan Sultan dengan segala yang ada. Banyak abdi dalem yang mengatakan bahwa mereka mendapat panggilan untuk menjadi abdi dalem, yang tentunya dengan proses sangat Panjang karena seoran abdi dalem harus menghilangkan egonya dan menjalankan pekerjaan dengan ikhlas, sebagai salah satunya adalah gaji. Gaji yang diterima oleh abdi dalem dinilai sangat rendah dan kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup, tetapi mereka tetap merasa bahwa gaji yang didapat sudah cukup karena mereka memegang prinsip "Madhep-mantep marang Gusti Allah" yang memiliki arti bahwa yakin terhadap Tuhan. Abdi dalem harus memiliki sikap yang dapat memberi contoh baik di manapun mereka tinggal berdasarkan peraturan dan tata krama yang ada (Arningrum, 2019). Bentuk nyata dari Dimensi Hofstede tentang menghindari ketidakpastian rendah dapat dilihat dalam sikap orang jawa yang biasanya pasrah dan hidup mengikuti arus tentang apa yang telah diberi oleh Tuhan, hal ini seperti sikap abdi dalem dimana mereka sangat mematuhi semua pesan dan peraturan yang telah disampaikan oleh Sultan, karena mereka percaya bahwa Tuhan sudah menempatkan hidup mereka untuk mengabdi kepada kraton dan Sultan sehingga mereka akan dengan patuh menaatinya. Abdi dalem juga biasanya memiliki sikap toleransi yang tinggi dan sabar. Dimensi kedua adalah Dimensi Hall tentang Konteks tinggi, dimana abdi dalem sangat berhati-hati dalam berbicara, karena adanya perasaan "sungkan" atau tidak enak apabila membicarakan tentang keinginan atau menolak sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sikap "sungkan" ini melekat pada figur abdi dalem karena mereka lebih suka untuk menghindari konflik dan menuruti perintah yang ada. Sikap berbicara yang "sungkan" ini juga seringkali bisa diartikan oleh beberapa orang menjadi sikap berbicara yang sopan. Hal ini ini dapat dilihat pada saat kita berbicara dengan abdi dalem kraton, mereka akan berbicara dengan menggunakan bahasa yang sopan dan diiringi dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa ia menghormati lawan bicaranya.

Daftar Pustaka:

Arningrum, Y. P. H. D. (2019). SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 2010-2018.

Harjanti. T., & Suryanti. H. H. S. (2019). Pengaruh Layanan Informasi Etika Komunikasi Terhadap Sikap Sopan Santun Peserta Didik Kelas VII C DI SMP Negeri 2 Tasikmadu Karanganyar Tahun Pelajaran 2018/2019. Medikons: Jurnal Prodi Bimbingan dan Konseling Unisri Surakarta, 5(2).

Kratonjogja.id. (2016). Tugas dan Fungsi Abdi Dalem.

Samovar, L. A., Porter, R. E., & MCDaniel, E.R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cultures (ed. 7). Jakarta: Salemba Humanika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun