Â
Jakarta -  Konflik Laut China Selatan telah menjadi isu global karena LCS merupakan salah satu Sea Lines of Communication (SLOC)/Sea Lines of Trade (SLOT) penting dunia. Keselamatan dan keamanan di LCS menjadi kepentingan nasional bagi banyak negara pengguna LCS. Ketidakstabilan di kawasan ini akan mendorong negara berkepentingan menghadirkan kekuatan militernya di kawasan. Amerika secara rutin menghadirkan armada AL-nya untuk menunjukkan niatnya.Â
Demikian juga negara lain seperti Inggris, Perancis, Australia, Jerman, dan India merupakan negara ekstra kawasan yang meningkatkan intensitas kehadirannya. Tujuan kehadiran sejumlah negara besar ini adalah untuk menciptakan LCS yang bebas dan terbuka. Kepentingan ini tentu berbenturan dengan kepentingan dari China yang membutuhkan LCS sebagai medan penyanggah dalam konsep strategi First-Second Island Chain dalam perspektif pertahanannya terlepas dari sumber daya alam yang potensial di wilayah tersebut.Â
Konflik di LCS yang kemungkinan menjadi perang terbuka akan membawa dampak pada peningkatan intensitas kehadiran kekuatan militer negara asing di sekitar Indonesia yang tidak saja akan menjadi perlintasan alutsista negara yang berkonflik tetapi wilayah Indonesia bisa menjadi perlintasan senjata yang meningkatkan risiko collateral damage terhadap Indonesia. Keberadaan sejumlah aliansi negara-negara dunia di kawasan yang seakan mengepung NKRI seperti Five Power Defense Agreement (FPDA) yang beranggotakan Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia, Quadrilateral Security Dialogue (QSD atau QUAD) yang beranggotakan Amerika, Australia, India dan Jepang, serta Australia, UK and US (AUKUS) yang beranggotakan Australia, Inggris dan Amerika serta kerjasama bilateral yang semakin intensif antara negara besar seperti Amerika dengan negara-negara di kawasan menggambarkan adanya potensi peningkatan ketegangan hingga mengarah pada konflik terbuka.Â
Mencermati keberadaan aliansi-aliansi diatas pada dasarnya menunjukkan adanya peningkatan intensi kepentingan nasional negara-negara dunia untuk membendung pengaruh China di kawasan regional. Konflik LCS sendiri bermula dari klaim sepihak China melalui Nine Dash Line yang hingga saat ini masih digunakan China sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 2 juta km persegi.Â
Klaim Nine Dash Line ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Bukan hanya di Indonesia, negara-negara lain, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam juga terkena imbas dari klaim Nine Dash Line oleh China ini. Wilayah yang masuk dalam Nine Dash Line, seperti Kepulauan Paracel juga sama-sama diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. Sedangkan untuk laut di Kepulauan Spratly, China bersengketa dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah menegaskan tidak akan pernah mengakui Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim China. Pasalnya, hal itu tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Dalam UNCLOS, telah ditetapkan batas-batas ZEE dari setiap negara yang kaitannya dengan hak melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional. Terkait Natuna, putusan konvensi PBB tentang Hukum Laut yang tertuang dalam UNCLOS 1982 sudah secara jelas memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).Â
Itu berarti Indonesia berhak mengendalikan kekayaan ekonomis di dalamnya. Kegiatan itu termasuk: menangkap ikan, menambang, mengekslporasi minyak, ,menerapkan kebijakan hukumnya, bernavigasi, terbang di atasnya dan menanam pipa-kabel. China pun sebenarnya turut menandatangani UNCLOS, tapi secara sengaja tidak pernah mendefinisikan makna hukum Nine Dash Line.
Konflik Natuna sempat memanas setelah China menuntut Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam (migas) karena mengklaim wilayah itu miliknya. Padahal Indonesia sudah mengatakan bahwa ujung selatan LCS adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan pada 2017 menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara. Bercermin pada kasus sengketa Blok Ambalat dengan Malaysia yang saat itu membuat seorang Presiden SBY hadir di daerah sengketa maka pada kasus Natuna dan LCS pun membuat Presiden Jokowi turut hadir di perairan Natuna dengan background KRI TNI AL.Â