Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saya Bukannya Tidak Boleh, Tapi . . .

18 November 2014   04:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:34 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(Level Stage Kayu - foto: erento.com)"][/caption] Sebuah fenomena minimnya tanggung jawab mahasiswa yang sering saya temui di kampus. Dahulu, ketika saya masih menjabat di Kaprodi, saya sering diberikan surat peminjaman barang. Karena jurusan kami memiliki lever pangggung atau stage, banyak UKM(Unit Kegiatan Mahasiswa) dan HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi) lain yang meminjamnya. Saat ada acara atau event, lever panggung yang kami punya memang bergilir digunakan. Terutama saat minggu tenang sebelum UAS. Semua yang pinjam dengan syarat harus mahasiswa dan digunakan intra-kampus. Atau, lever panggung tidak digunakan di luar kampus. Biasanya saya layani mahasiswa yang hendak meminjam dengan mereka menyerahkan fotokopi KTM (Kartu Tanda Mahasiswa), surat pinjam dan nomor HP yang bisa dihubungi. Pokoknya, nomor mahasiswa baik ketua atau koordinator acara. Semua agar secara administratif peminjaman bisa saya tulis. Dan secara moral, dengan mereka melengkapi syarat berarti mereka tunduk pada aturan yang kami buat. Lever harus dikembalikan tepat waktu. Dan juga yang lebih penting, bertanggung jawab atas kondisi lever panggung selama dipinjam. Namun, ini yang jarang terjadi. Sering kali, saat mereka yang meminjam telah selesai dengan urusannya, urung atau malas mengembalikan. Dikembalikan pun, kadang beberapa lever panggung Prodi kami masih tercecer dimana-mana di sekitar kampus. Yang kami, saya dan Prodi takutkan adalah jika hujan. Lever panggung yang terbuat dari kayu, tentunya akan cepat rusak. Kadang pula, memang mereka mengembalikan semuanya, namun ditaruh sembarangan. Pokoknya ditumpuk semaunya sendiri. Ditumpuk tidak seperti sedia kala, hanya yang penting semua dikembalikan. Miris dan jengkel kadang saya dibuatnya. Sudah kami Prodi baik-baik pinjamkan, namun dibalas dengan perlakuan teledor dan semaunya. UKM atau HMP yang meminjam seolah tidak perduli lagi jika acara sudah selesai. Kalau sudah selesai, ya sudah selesai. Sedang tanggung jawab merawat barang pinjaman selama dan sesudah acara mereka, tidak difikirkan. Sak karepe dewe (semaunya sendiri, Jawa) sering saya lontarkan kepada mereka. Apalagi kalau tidak beres dalam merawat dan mengembalikan. Setelah itu, biasanya UKM atau HMP yang tidak ceroboh atas tanggung jawab peminjaman, tidak lagi kami pinjamkan. Lalu, mungkin ada saja yang bilang saya pelit atau tidak perduli kegiatan mahasiswa. Andai saja mereka tahu apa yang mahasiswa lain lakukan, dan seringnya mereka lakukan. Meminjamkan inventaris Prodi untuk sekadar disia-sia belaka, siapa sih yang mau meminjamkan. Saya faham, lever ini milik Prodi yang digunakan untuk mahasiswa. Dan memang yang paling banyak menggunakan mahasiswa. Namun, jika tanggung jawab saja minim. Rasa perduli atas barang milik bersama yang juga minim. Siapa sih yang mau meminjamkan. Dan sekarang saat saya tidak lagi berkantor di Kaprodi, saya masih sering diinfokan mahasiswa kalau lever panggung Prodi kami belum dikembalikan. Malah, tadi sore saya lihat lever panggungnya digunakan acara mahasiswa Prodi lain. Yang membuat saya heran, adalah acaranya di taman, dan sempat hujan. Apa levernya tidak kehujanan? Nanti kalau hujan lagi, apa mereka benar-benar bisa mengembalikan semuanya dengan cepat dan rapih ke tempat semula. Menyaksikan dan menyangsikan perilaku mahasiswa, saya sering bertanya. Kenapa dengan tata krama dan tanggung jawab mereka. Maunya hanya senang-senang, setelah itu seolah tidak terjadi apa-apa. Alias, tidak mau tahu dan lepas tanggung jawab. Sebuah ranah distopia masa datang dibalut euforia kontemporer. Karakter minim yang dibungkus hedonisme serigid kemampuan mahasiswa memahami jamannya. Salam, Solo, 17 November 2014 09:18 pm

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun