Kasus Rafael Alun Trisambodo (RAT), benar dimulai dari tragedi pengeroyokan anaknya. Namun kini merembet sampai analisis PPATK pada 40 rekening miliknya yang disinyalir mencapai 500 miliar Rupiah. Sebelumnya, penggelapan aset tak tercatat LHKPN sampai hidup hedon RAT dikuliti oleh netizen.
Seolah tidak berdaya, pihak-pihak berkepentingan nampaknya diam termangu. Mereka menunggu trending soal RAT dan menunggu respon publik. Untuk kemudian memberikan klarifikasi sampai pengumuman pemecatan RAT. Sejauh mana penelusuran netizen pada RAT belumlah pasti.
Tapi ada fenomena menarik yang bisa nampak dari kasus RAT. Netizen yang mengawal kasus ini seolah tidak pernah berhenti menuntut kejelasan. Terlihat juga, tidak ada sentimen kontra pada narasi yang beredar terkait kasus RAT maupun anaknya. Ada beberapa hal positif dan negatif yang nampak.
Pertama, tekanan publik didengarkan pemerintah.Â
Kalau tidak viral tidak didengarkan tersurat dari kasus RAT. Namun, karena jejaring dan jejak digital anak RAT mengundang tanya. Netizen pun memiliki dugaan yang menjadi kenyataan. Jelas ada yang tidak wajar dari gaya hidup RAT yang dulu menjabat Eselon III.
Publik segera membandingkan LHKPN dengan posting flexing anak, istri, dan RAT sendiri. Bahkan ada tweet sebuah akun dijadikan referensi media mainstream untuk mengunjungi aset yang dimaksud. Tekanan netizen pun sampai mencurigai postingan hedon pejabat lain seperti Eko Darmanto dan sedang trending, Andhi Darmono.
Kedua, budaya partisipatif netizen demi keadilan.Â
Budaya partisipatif netizen menjadi dasar dari interaksi di medsos. Karena tanpa interaksi ini, medsos bisa hidup dan ramai. Dari kasus RAT yang berlangsung lebih dari seminggu ini, budaya ini sangat kentara. Netizen tiada lelah menuntut keadilan.
Dibalik sebuah akun, pemiliknya berasal dari beragam latar belakang. Baik mereka yang memiliki kecakapan teknis terkait internet dan medsos. Atau ada juga mereka yang datang dari lingkar pemerintahan. Dari informasi keduanya, ditambah netizen secara umum, menimbulkan trending.Â
Ketiga, lemahnya pengawasan institusi pemerintah.Â