Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendengar dan Memahami Sisi Humanis Napiter

22 Februari 2020   12:55 Diperbarui: 22 Februari 2020   22:16 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesi Foto Bersama Usai Diskusi - Foto: Panitia

"Ketika saya melihat ibu saya menangis. Disitu saya berpikir untuk berhenti seperti ini." Ungkap Jek seorang napiter.

Narapidana terorisme juga manusia. Itulah yang saya tangkap dari kisah para napiter yang ikut dalam diskusi kemarin. Bersama dengan beberapa konten kreator, saya mendengar langsung sisi humanis para napiter. 

Kebetulan hadir juga mba Najwa Shihab sebagai founder Narasi TV. Beberapa pertanyaan kami ajukan kepada ketiga napiter. Salah satunya adalah Bang Jek, panggilannya. Ia adalah perakit bom pada kasus Bom Bali 2. Ia pun pernah bersama Dr. Azhari dan Dul Matin merencanakan beberapa pengeboman.

Bang Jek pertama kali mengenal kelompok radikal saat ia kuliah. Dalam halaqoh (liqo) kecil ini, Bang Jek banyak disuguhi imaji perang seperti di Palestina dan Afganistan. Bang Jek pun sempat pergi berjihad di saat kerusuhan agama di Ambon tahun 1999.

Sejak saat itu kiprahnya dikenal luas di kalangan jihadis. Dan yang paling ia ingat adalah tragedi Bom Bali 1 di tahun 2002. Karena ia menganggap telah dapat membalaskan dendam saudara-saudara Muslim.

Sampai akhirnya Bang Jek diamankan oleh polisi. Hingga menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun. Dan di dalam penjara, ia merasakan benar-benar menyesal. Dan salah satunya ia ungkap adalah ketika melihat sang ibu menangis.

Sedang napiter lain juga menyesal telah melakukan tindakan teror. Ia sempat menjalani hukuman penjara selama 10 tahun. Penjara yang ia huni pun berpindah-pindah. Sampai yang terakhir ia menjalaninya di Nusa Kambangan.

Dan yang membuat ia akhirnya memilih keluar dari kelompok teror adalah sang istri. Menurutnya, sang istri sudah sangat sabar menunggunya menjalani masa hukuman. Dan ia akhirnya menetapkan hati untuk berhenti menjalani teror.

Napiter lain ditangkap polisi karena menyimpan senjata dan amunisi. Selama dalam kelompok radikal ini, ia hidup berpindah-pindah. Dalam ketakutan ia mencoba mencari kehidupan. Ia sempat ke Jakarta dan mengajarkan silat untuk anggota kelompoknya.

Dari ketiga napiter yang berdiskusi, hanya satu yang mereka minta. Yaitu bisa kembali ke dalam masyarakat. Karena mereka tahu kesalahan mereka sangat fatal kepada publik. Terutama menurut mereka, adalah menghidupi keluarga mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun