Karena bukan tidak mungkin platform medsos tumbang. Masih kita ingat lamat-lamat Friendster di awal 2000-an. Yang kini kontennya tak lain adalah memorabilia kreativitas empunya akun.Â
Path yang sempat populer di Indonesia dengan 4 juta users pun jeblok tahun lalu. Dengan mengusung konsep interaksi genuine lingkar pertemanan terbatas 150 orang (walau akhirnya ditambahkan). Pun tidak mampu membuat Path bertahan sebagai platform pertemanan.
Banyak lagi platform media sosial yang akhirnya kolaps. Contoh lain seperti Vine, Google Wave, Yik Yak, Digg, MySpace, dsb. Bukan tidak mungkin platform besar seperti Facebook atau Twitter runtuh. Walau, hal ini masih menjadi asumsi yang tidak pasti di masa depan.
Maka yang terjadi adalah hilangnya reputasi dan popularitas yang telah lama dibangun. Akankah seorang influencer akan menjadi stress atau depresi? Belum pasti.
Namun yang pasti adalah, eksistensialisme manusia modern begitu lekat dengan dunia digital. Akun media sosial yang kita punya bukan lagi liyan dari keberadaan diri. Namun merupakan diri kita yang berkelindan dengan realitas yang rumit.
Dunia digital menyajika realitas yang hiper-kuratif, temporal, dan teatrikal. Imaji diri yang kita sajikan untuk subscriber YouTube kita adalah imaji terbaik dari yang terbaik. Bisa juga imaji yang menyesuaikan tema konten video. Atau malah imaji penuh kepura-puraan dan drama.Â
Eksistensi kita begitu rapuh namun begitu sempurna berkat media sosial. Postingan viral kita tadi pagi bisa menjadi berita sore harinya. Siang tadi kita yang bukan siapa-siapa menjadi fenomenal berkat sebuah unggahan foto.
Namun bagi beberapa, tindakan panjat sosial (pansos) dilakukan dengan beragam cara. Kadang juga tidak berpikir akibatnya.
Mengontrol diri untuk tidak terjerat seksinya popularitas dunia maya menjadi pilihan. Interaksi kodrati bertemu muka wajib menjadi prioritas. Komunikasi tulen dengan duduk berbincang baiknya terus kita jaga.
Karena popularitas medsos bukan saja bisa hilang dalam sekejap. Baik saat hilang followers atau kolapsnya platform. Namun juga, popularitasnya juga adalah ilusi. Yang pada akhirnya menuntut kita bukan sekadar menjadi selebritis. Tak jarang junjungan penggemar membuat kita menjadi Tuhan?
Salam,
Boyolali, 29 November 2019
11:04 pm