Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Efektifkah Memblokir Users untuk Sterilkan Linimasa?

16 November 2018   11:11 Diperbarui: 16 November 2018   18:18 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media Icon - Foto: pixabay.com

Baik Facebook maupun Twitter sedang sibuk mengawasi dan menonaktifkan ribuan users. Mensterilkan linimasa dari hate speech, trolls, sampai hoaks menjadi fokus mereka. Langkah proaktif ini dibarengi membuat war room yang beroperasi 24/7.

Namun pertanyaannya kini mengemuka. Apakah langkah memblokir efektif mengkondusifkan linimasa sosial media? Jawaban sederhananya, bukan tidak efektif tapi kurang efektif. Karena setidaknya ada dua hal yang membuat cara diatas kurang efektif.

1. Engagement adalah fundamental beriklan di sosmed

Dengan 2,2 miliar users aktif di Facebook, sekitar 1,87 miliar views pada iklan didapat di tahun 2018. Dengan jumlah pengiklan di Facebook mencapai 6 juta. Tak heran laba global Facebook di tahun 2018 mencapai hampir 35 miliar USD. Jumlah ini naik 10 miliar USD dari tahun 2017.

Sedang pada Twitter, dari 300 juta lebih pengguna, 73% iklan yang muncul bersifat informatif. Dan ada 80% pengguna bisa mengingat video iklan yang dilihatnya. Hal ini membuat laba Twitter di kuarter ke tiga 2018 naik menjadi 758 juta USD dari sebelumnya 710 juta USD.

Lalu apa hubungannya dengan persebaran hoax/hate speech yang viral di linimasa?

Hampir setiap hari, ada saja berita bohong/ujaran kebencian yang viral di linimasa. Entah itu kabar hoaks tentang penculikan yang sedang marak. Atau perang nyiniyir pada istilah genderuwo/sontoloyo. Narasi yang disematkan pada posting seperti ini selalu dapat menarik like/komen/share netizen.

Narasi yang begitu menggugah emosi menimbulkan engagement yang tinggi. Ramai dan riuhnya engagement atau interaksi yang terjadi menjadi medium iklan. 

Algoritma sosmed terkadang memunculkan posting/tweet yang kontroversial tetapi belum tentu faktual. Saat interaksi tinggi, iklan produk atau jasa pun diselipkan. Algoritma sosmed juga akan membaca preferensi kita melalui iklan, situs, atau posting tentang suatu produk/jasa yang pernah dikunjungi. 

Sehingga iklan penyedia barang/servis tadi muncul di linimasa sosmed kita. Mulai dari iklan gambar, video, recommended post/tweet, dsb akan muncul. Dan iklan yang muncul ini akan berbeda-beda sesuai parameter profiling algoritma sosmed.

Election 2016 Social Media - Ilustrasi: forbes.com
Election 2016 Social Media - Ilustrasi: forbes.com
2. Sosial media profiling menjadi komoditas politis 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun