Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Di Sebuah Ujung Kontinuum Tradisi Membangunkan Sahur

5 Juni 2018   10:17 Diperbarui: 5 Juni 2018   10:29 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Delicious Diet - foto: kaboompics.com

Bagai sebuah tali, setiap entitas memiliki dua ujung. Begitupun dengan tradisi sahur. 

Sudah banyak yang bercerita riuh dan unik tradisi sahur di kampung mereka. Dari mulai berpawai bedug dengan gerobak beramai-ramai. Sampai mempersiapkan band berkeliling kota pun sudah ada. Sila Google saja, ada banyak jenis dan ragamnya.

Aku hanya mau melihat tradisi di satu ujung kawan. Di sebuah ujung tradisi sahur yang begitu remang. Begitu dibiarkan sendiri, namun tiada juga mati. Bisa jadi banyak orang tiada memperhatikan. Karena mereka riuh dengan tradisi sahur mereka sendiri. 

Sahur ramai dan meriah karena dijunjung bersama. Dilakukan kelompok sosial dengan tujuan yang sama. Bisa jadi dengan niat tulus karena ingin orang lain bisa sahur. Entah senang atau rikuh dengan berisiknya. Tradisi ini menjadi baik karena mayoritas bermufakat bersama di atasnya.

Sedang bagaimana dengan tradisi sahur dalam sunyi? Tradisi sahur yang hanya dibangunkan sebuah gawai. Dengan mata yang enggan membuka, orang-orang seperti ini mematikan alarm di gawainya. Terbaring beberapa saat. Dalam fikirnya meminta 5 menit tidur saja. Namun kadang kebablasan hingga waktu Shubuh tiba.

Mereka bukan tidak punya keluarga atau kelompok. Tetapi kadang kemandirian mereka mengalahkan kebersamaan. Bisa jadi orang tua yang anaknya sudah dewasa. Tapi enggan membangunkan sahur, karena sudah dianggap dewasa. Atau bisa jadi anak kos di sebuah kos mewah yang begitu individualis. Bisa kamu anggap individualis atau cuek, sama saja. Dan ini jadi tradisi, tidak tertulis.

Atau tradisi seorang milenials yang pilih hidup melajang di kota. Di apartemennya, mereka dibangunkan jam digital. Lalu memegang gawai memesan makanan sahur. Tetapi makanan diantar abang ojek online sudah mepet waktu imsyak. Dengan wajah masam, si pemesan membayar makanan. Aktifitas ini diulang, setiap hari dan setiap tahun selama puasa. Menjadi tradisi.

Atau mereka yang tinggal sendiri di rumah besar. Anggota keluarga lain ada yang masih tidur karena lelah bekerja. Ada juga yang sedang rapat di luar negeri. Kesendirian di meja besar di ruang makan menjadi kebiasaan bersahur. Kadang sembari menonton tivi di ruang tamu yang sebesar rumah type 60. Dan ini pun tradisi.

Semua ini pun sebuah tradisi kawan. Bukankah sebuah tradisi adalah kegiatan yang diulang, menjadi kebiasaan, dan dianggap baik. Sahur seperti ini pun ada. Hanya kadang kita begitu rikuh membahasnya. Karena tiada yang menarik dari tradisi seperti itu bukan?

Tradisi membangunkan sahur yang sudah sejak kita kecil sampai dewasa masih ada, patut kita syukuri. Semoga bisa langgeng dan dirasakan generasi mendatang. Semoga tidak menjadi sebuah perkamen budaya yang pernah jaya di masanya.

Tapi kawan, tradisi membangunkan sahur dalam kesendirian, individualisme dan kemandirian ala Barat juga ada. Ia bergeliat dan diritualkan idnvidu yang dianggap modern, milenials, atau memang sangat mandiri. Cukuplah sebuah gawai menjadi rekan setia bersahur. Mulai dari membangunkan sampai 'menyajikan' makanan sahur, bisa dilakukan si gawai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun