Mohon tunggu...
Ghinaa Nabiilah
Ghinaa Nabiilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan dalam Menangani Covid-19 pada Perspektif Legitimasi Pemerintah dan Ketatatertiban Masyarakat

16 April 2021   06:03 Diperbarui: 16 April 2021   06:10 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Tepat sejak pandemi Covid-19 Indonesia telah terpapar banyak hingga menelan korban ratusan bahkan jutaan jiwa yang telah terinfeksi. Dari lonjakkan dan kurun waktu terus meningkat untuk jumlah orang yang positif Covid-19. Pemerintah untuk saat ini sedang kesulitan menghadapi ketatatertiban masyarakat dalam menangani permasalahan wabah covid-19 guna mentaati kebijakannya sesuai dengan protokol kesehatan. Pemerintah sangat menghimbau dan memberi kebijakan mengenai protocol kesehatan bagi masyarakat tetapi malah terkesan diabaikan bahkan tidak mematuhinya. Pemerintah juga melakukan berbagai macam untuk mengatasi penularan virus ini baik mencegahnya ataupun menangani korban yang terinfeksi namun kegiatan tersebut belum berhasil untuk meredamkan penyebaran wabah Covid-19. Adapun kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk menangani pandemic Covid-19 seperti : (1). Stay at Home tetap tinggal dirumah; (2). Physical Distancing pembatasan fisik; (3). Menggunakan alat pelindung diri (masker dan face shield); (4). Work from Home bekerja atau belajar dari rumah masing-masing; (5). Semua kegiatan yang bersifat kerumuman segera ditunda; (6). PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar); hingga (7). Pemberlakuan kebijakan New Normal. (Tuwu, 2020;271).[1]

Semua dengan kegiatan industry, perkantoran, pendidikan, kegiatan sosial budaya, ekonomi, politik, dan keagamaan serentak hanya dilakukan dirumah. Himbauan jaga jarak, tetap dirumah saja hingga penggunaan masker dan hand sanitaizer ketika berpergian tampaknya pemerintah sangat sulit memperoleh kepatuhan masyarakat untuk menaati kebijakannya. Bisa menjadi bukti bahwa kerumunan masih tampak dimana-mana dan banyak masyarakat yang tidak menggunakan masker saat bepergian.

Menjelang hari raya pun masyarakat masih asik pergi ke mall, pasar, dan tempat transportasi seolah dengan keadaan "normal" atau menyepelekan adanya Covid-19. Meski kebijakan pemerintah melarang untuk mudik tetapi masyarakat enggan mematuhinya, dengan hal tersebut sebagai keamanan kebijakannya pemerintah terpaksa memobilisasi aparat negara (Polisi, SatPol PP, dan TNI) secara besar menyebar luas. Dengan hal tersebut guna mengamankan masyarakat agar lebih patuh dalam kebijakan yang dibuat pemerintah, yang pada akhirnya dapat memicu konflik antara pemerintah dengan masyarakat (Tuwu, 2017). [2]Antara pemerintah dengan masyarakat tidak sepemahaman dikarenakan ketidakpatuhannya masyarakat terasa sedikit aneh sehingga himbauan dan kebijakan yang sebenarnya demi menyelamatkan bersama menjadi konflik perbedaan atau pendapat antara pemerintah dengan yang diperintah (Tuwu, 2018).[3]

Pembahasan

            Dalam berupaya penanganan dan pencegahan Covid-19 sebagai wujud ketidakpatuhan masyarakat terkesan aneh dikarenakan dua hal; pertama, sesungguhnya masyarakat begitu sadar bahwa pemerintah membuat kebijakan ini untuk mencegah/menyebar nya Covid-19 secara luas. Kedua, dalam kebijakannya pemerintah cukup mempunyai legitimasi yang kuat dalam pemilu namun pada penangangan untuk Covid-19 terkesan lebih sulit memdapatkan simpatik kepatuhan masyarakat. Secara umum, melalui konsep legitimasi menjadi pusat dalam ilmu politik yang dijelaskan bahwa bagaimana kekuasaan diwujudkan dan digunakan dalam cara diterima anggotanya (Gilley, 2005:31). Dalam hal tersebut legitimasi sangat persetujuan dan dukungan berbagai pihak sebagaimana kebijakan tersebut dapat dijalankan secara efisien.

            Pemerintah mempunyai legitimasi yang sah melalui pemilihan umum, secara procedural formal yang menjadi tanda gagasan demokrasi procedural yang berasumsikan pemerintah dapat memperoleh kekuasaan jika yang diperintah mendapat persetujuan mereka kepada penguasa. Dalam konteks tersebut , legitimasi hanya untuk memerintah yang diperoleh melalui penyelenggaraan pemilihan umum. Banyak yang berasumsikan bahwa pemilih mengidentifikasi luasnya persetujuan pada penggunaan kekuasaan pemerintah yang digerakkannya. Namun, hal tersebut dapat diasumsikan bahwa procedural tampak berlebihan dikarenakan tidak selamanya ada pengaruh substansial antara legitimasi dalam pemilihan umum dengan legitimasi kebijakan yang dapat dihasilkan. Sehingga, terbatas dukungan yang dapat diperoleh dalam proses kebijakan yang tidak menggambarkan legitimasi dalam pemilihan umum. Untuk secara teoritis pemilihan umum akan lebih berperan dalam memberikan kewenangan formal kepada pemerintah, hanya dengan melegitimasi untuk kedudukan pemerinta sebagai pembuat kebijakan, dan bukan hanya sebagai substansi kebijakan melainkan diberlakukannya pemerintah. Salah satu faktor yang dapat mengendalikan keputusan dan tindakan politik dengan melalui vote sebagai kewenangan formal.

Pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) suara terbanyak dari rakyat dalam pemilihan umum, seharusnya tidak menjadi masalah jika memperoleh dukungan dalam setiap kebijakannya termasuk kebijakan yang tidak marak publik, dengan adanya mandate yang luas dari pemilih dapat memungkinkan pemerintah membuat kebijakan tanpa adanya penolakan dari masyarakat, tetapi dengan para ilmuwan politik seperti Kennet Janda akan berasumsikan bahwa ini dapat mengundang pesimisme ( Kennet Janda dkk., 1994 : 274:275) yang menegaskan bahwa sulitnya menemukan bukti yang kongkret mengenai dukungan sektor publik yang cukup luas terhadap range kebijakan-kebijakan tertentu sebagai kandidat pemenang akan tercapai (to pursue). [4]Dikarenakan menurut teori Kontrak Sosial Rosseau bahwa pemilihan umum hanya mekanisme transfer (social contract) kedaulatan dari rakyat (the ruled) kepada penguasa (the ruler) yang hanya bisa memiliki kemungkinan sebagai pernyataan kedaulatan (sovereignty) atau sebagai pernyataan keinginan tertentu dari tindakan administrasi belaka. 

Melihat maraknya masyarakat dalam mengabaikan penanganan pandemic Covid-19, justru dapat menimbulkan stigma bahwa pandangan terhadap proseduralisme dengan mengunggulkan vote sebagai bentuk legitimasi politik seakan akan menjadi sekedar mitos dalam berdemokrasi, yang menjadi asumsi bahwa telah usang dalam perolehan suara dapat ditandai kuatnya legitimasi pemerintah yang berkuasa. Kejadian ini banyak terjadi  pada negara yang basis demokrasinya masih sangat rapuh sehingga sering terjadi dukungan pada kebijakan yang tidak mencerminkan dukungan dalam pemilihan umum.

Habernas (1975) menegaskan bahwa munculnya suatu krisis legitimasi ini karena perpecahan sosial dan manajemen krisis pemerintah yang gagal. Pemerintah tidak jarang memaksakan sanksi atau dengan menggunakan kekuatan paksa (forces) untuk menjamin keteraturan dalam kondisi seperti ini. [5]Pemerintah memaksa masyarakat untuk mematuhi himbauan dan kebijakan yang telah diterapkan, dengan menggunakan aparat keamanan (Polisi, SatPol PP, dan TNI) sebagai reaksi atas ketidakpatuhan masyarakatnya. Demonstrasi aparat secara berlebihan sebagai kekuatan paksa berdampak kurang baik selama penanganan Covid-19.

Dalam menjalankan fungsi-fungsi nya, tidak perlu penggunaan secara berlebihan dalam menunjukan ketidakmampuan pemerintah terkait legitimasi yang sedang dialaminya. Secara efiesien pemerintah tidak dapat menunjukan fungsinya tanpa menggunakan kekuataan paksa dalam kondisi legitimasi kritis saat ini. Sesungguhnya kegagalan kewenangan tersebut terjadi pada pengarahan aparat karena kekuatan paksa untuk menjalankan suatu kebijakan. (Hannah Arend, 1983) menerangkan bahwa "otoritas akan gagal dimana kekuatan penggunaan cara kekuatan dalam pemaksaan eksternal."[6]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun