Mohon tunggu...
Ghatfhan  Hanif
Ghatfhan Hanif Mohon Tunggu... Lainnya - Masih Pembelajar dan hanya Seorang Mahasiswa Fakultas Hukum

Gerilya Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Pemimpin Despotik dan Populis dalam Bingkai Humanisasi

20 Juni 2020   09:56 Diperbarui: 20 Juni 2020   10:52 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The photo by cdni.rbth.com

Dinamika kehidupan manusia melahirkan sifat-sifat yang beraneka ragam. Corak pergaulan baik itu bernegara maupun bermasyarakat tidak bisa kita nafikan dengan unsur-unsur politik di dalamnya; keinginan untuk meraih kekuasaan, keinginan akan melahirkan keuntungan lahir-batinnya dengan jalan kekerasan, kelicikan maupun perbudakan. Dehumanisasi lahir karena hilangnya rasa kemanusiaan di dalam diri sehingga terjadi internalisasi yang memang sudah mendarah daging untuk melakukan penindasan terhadap orang-orang yang lemah, tidak cakap, dan tertindas.

Kelas penindas tidak boleh menutup mata seakan-akan dehumanisasi adalah hal yang lumrah dilakukan , sebab bila hal itu dilakukan terus-menerus  maka akan menemui "kemajuan" penindasan yang resiko terbesarnya terletak pada kelas yang tertindas -- nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan hilang atau punah begitu saja laksana "ditelan peradaban". 

Kebebasan dan kemerdekaan individu awalnya masih menjadi hak yang diabaikan begitu saja, namun sebuah tonggak awal perjuangan hak asasi manusia terlihat Ketika dicetuskan dan diterapkan Piagam Madinah pada tahun (622), ada pula Magna Charta (1215) oleh Raja John Lackland, Petition of Rights (1628), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence (1776), Declaration des droit de I'homme et du Citoyen (1789) -- ranah konstitusi tertinggi bangsa kita, yaitu UUD 1945.

Konstruksi pemikiran setiap insan maupun kelas tertindas harus terpolarisasi dengan baik karena kesadaran akan penindasan merupakan respons alam bahwa hak kebebasan dan kemerdekaan diri pribadi telah dibelenggu oleh kekuatan penguasa yang sewenang-wenang tanpa memberikan keadilan, kesejahteraan, dan supremasi hukum yang nyata. 

Langkah kelas tertindas untuk menuntut hak nya adalah usaha yang mulia seperti adagium "EQUUM ET BONUM EST LEX LEGIUM," artinya apa yang adil dan baik adalah hukumnya, oleh sebab itu kelas penindas seharusnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum, sebagaimana  penerapan hukum yang bukan tajam kebawah dan tumpul keatas. Kemungkinan ini bisa melahirkan pemimpin yang despotik atas tindakan otoriter dan pengabaian hak manusia.

Menurut saya, Pemimpin despotik adalah pemimpin yang titik tumpunya pada kekuasaan (Machtstaat) dengan mengabaikan  humanisasi. Mengutip gagasan Montesquieu, bahwa "Pemerintahan despotik adalah kekuatan politik yang pasif, corak masyarakat dianggap seperti binatang, segala hal dikembalikan kepada pemimpinnya sehingga masyarakat hanya menerima nasib dan cenderung pasrah pada keadaannya, pemimpin merupakan sumber hukum yang absolut." 

Dominasi kelompok oleh kelas penindas yang berkesinambungan bisa menimbulkan reformasi bagi kelas tertindas untuk melakukan pembaharuan, sebab perjuangan revolusi kelas tertindas lahir karena adanya Pembungkaman kebenaran, kediktatoran, dan absolutisme kekuasaan yang mencederai bahkan merusak tatanan humanisme sehingga dibutuhkan pemimpin yang populis. 

Menurut Profesor Peter Worsley dalam bukunya the third world mengartikan pemimpin populis, yakni "pemimpin yang dapat membangunkan solidaritas rakyat serta berpegang teguh kepada nilai-nilai masyarakat tradisional dan juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang-hutang luar negeri (asing)". 

Mengutip gagasan Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan kaum tertindas bahwa "pemimpin populis ialah merepresentasikan masyarakat secara murni tidak ada keramahan palsu." Pemimpin yang populis harus hadir bersama kelas yang tertindas, memiliki nasib yang sama dan cita-cita untuk mengubah tatanan yang telah  rusak atau cacat, sebab dalam jiwa dan raga pemimpin populis tidak boleh bersemayam sifat "ambiguitas politik"; empati yang diberikan kepada kelas tertindas hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai keinginan agar meraih kekuasaan yang menguntungkan dirinya kelak.

Sebagai manusia yang selalu merespons perubahan karena hakikat manusia adalah makhluk yang dinamis. Jika kelas tertindas, mahasiswa maupun manusia yang menuntut perjuangan melihat ketidakadilan, pembungkaman, dan penindasan adalah suatu dehumanisasi sehingga merajalela di tengah-tengah kita maka hanya ada satu kata, yaitu Lawan!. 

Mengutip perkataan Tan Malaka bahwa "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Penulis mengartikan Konotasi "lawan" sebagai dimensi yang positif; Menyampaikan aspirasi dengan baik maupun kritik yang konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun