Dalam beberapa tahun terakhir, istilah PayLater semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia. Layanan yang menawarkan kemudahan "beli sekarang, bayar nanti" ini booming terutama sejak pandemi, saat banyak orang beralih ke belanja daring. Berbagai platform besar --- mulai dari e-commerce, aplikasi transportasi, hingga layanan travel --- berlomba-lomba menawarkan fitur PayLater untuk menarik pengguna.
Namun di balik kenyamanan yang ditawarkan, muncul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari tren PayLater ini? Dan siapa pula yang berisiko dirugikan?
Secara sederhana, PayLater memungkinkan pengguna melakukan transaksi tanpa harus membayar langsung di muka. Sistem ini menawarkan fleksibilitas pembayaran dalam hitungan minggu hingga bulan, bahkan mencicil dalam beberapa tenor.
Bagi banyak orang, terutama generasi muda, PayLater terasa seperti solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan konsumtif tanpa harus memikirkan saldo rekening. Tak heran, berdasarkan data dari OJK dan berbagai survei independen, pengguna PayLater di Indonesia terus bertumbuh pesat, terutama di kalangan usia 20-35 tahun.
Di satu sisi, PayLater membantu:
Meningkatkan daya beli masyarakat.
Mendorong pertumbuhan bisnis digital.
Memberikan akses kredit kepada yang tidak memiliki kartu kredit konvensional.
Bagi sektor bisnis, khususnya e-commerce dan layanan digital, PayLater jelas menjadi katalis pertumbuhan. Semakin banyak orang belanja, semakin besar pendapatan yang dihasilkan.
Bahaya yang Mengintai di Balik Kemudahan