Mohon tunggu...
Gema Muchamad
Gema Muchamad Mohon Tunggu... Guru - Belajar Baca Nulis

Belajar Baca Nulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sejarah Wanita: Antara Diskriminasi dan Eksploitasi

23 Mei 2019   19:32 Diperbarui: 23 Mei 2019   19:47 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berdasarkan data dari ILO (International Labour Organization) dalam Tren Tenaga Kerja dan Sosial di Indonesia tahun 2014-2015, proporsi pekerja menurut pekerjaannya, wanita paling dominan di bidang pekerjaan professional dan jasa (57,2%) dan penjualan (53,9%). Begitu pula data berdasarkan Indonesia Educational Statistics in Brief, wanita menjadi tenaga kerja yang dominan dalam bidang pendidikan yaitu sebagai seorang Guru. Jumlah guru di DKI Jakarta misalnya, pada tahun 2015-2016 ada 10.117 guru wanita dan 10.047 guru pria bagi jenjang SD, 29.603 guru wanita dan 12.468 guru pria di tingkat SMP, dan 11.061 guru wanita dan 10.013 guru pria di tingkat SMA. Selain itu, ada data yang menyebutkan bahwa wanita pekerja/karir di 144 negara termasuk Indonesia yang disensus oleh World Economic Forum (WEF) disebutkan mencapai 58%.

Wanita pekerja atau wanita karir menjadi hal yang biasa di zaman modern ini. Para wanita yang berupaya mencari nafkah seperti seorang pria dengan pilihan karir yang bermacam-macam menjadi hal yang lumrah dan biasa. Wanita karir seakan-akan menjadi kewajiban atau bahkan tuntutan bagi para wanita yang telah selesai merampungkan studinya.

Hari ini, mungkin di hampir seluruh belahan dunia, wanita memiliki hak yang sama untuk mengaktualisasikan dirinya dalam hal ekonomi, mengejar kegemilangan karir dan meraih kesejahteraan pundi-pundi keuangan tanpa harus selalu bergantung pada laki-laki baik itu ayah maupun suami.

Berdasarkan buku "A Vindication of The Right Woman" karangan Mary Wollstonecraft, wanita mulai bekerja di luar rumah dimulai pada abad ke-18. Wanita bekerja di luar rumah didorong oleh kapitalisme industri, awalnya untuk memenuhi kebutuhan jasmani (perut), tapi kemudian berkembang menjadi ambisi sosial. Konsep family wage atau suatu keyakinan bahwa lelaki adalah penghasil nafkah keluarga karena dia sebagai kepala keluarga mulai tidak berlaku lagi karena peran wanita pun kini terlibat sebagai tulang punggung keluarga.

Sejarah Peradaban Dunia Memperlakukan Wanita

Jauh sebelum kebebasan seorang wanita bisa seperti sekarang, ternyata sejarah mencatatkan "tinta hitam" kelamnya kehidupan seorang wanita pada peradaban-peradaban kuno di dunia. Peradaban Yunani kuno misalnya, kedudukan wanita dapat diklasifikasikan berdasarkan latar belakang dan tugasnya. 

Berdasarkan latar belakangnya, wanita dari kalangan elit diperlakukan selayaknya tahanan, ia disekap di dalam istana. Sedangkan wanita dari kalangan bawah malah menjadi komoditi untuk diperjualbelikan. Tugas-tugas wanita di masa ini adalah sebagai pemuas kaum pria, bagaikan selir-selir yang melayani pria, wanita melahirkan dan menjaga anak selayaknya baby sitter saja. Itulah nasib wanita di masa itu yang tidak jauh dari pekerjaan rumah tangga serta pemuas bagi kaum pria saja.

Dalam peradaban Romawi, kedudukan wanita tidak jauh berbeda dari Yunani, dimana kedudukannya sebanding dengan budak yang tugasnya menyenangkan dan menguntungkan tuannya. Wanita dalam peradaban Romawi tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam segala urusan. Hak-hak seorang wanita berada pada kekuasaan suami, bahkan seorang wanita bisa dimiliki dan diperbudak oleh anaknya sendiri.

Pada masa India kuno kedudukan wanita hanya sebagai barang pelengkap bagi kaum pria. Bahkan dikenal istilah Sumangali dharma yang berarti kesetiaan dan pelayanan seksual secara total seorang istri kepada suaminya.

Bahkan dalam tradisinya, seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan "yang mulia" bahkan "Tuhan". Dan jika suaminya meninggal maka setiap janda harus melakukan tradisi sati, yaitu tradisi membunuh dirinya sendiri sebagai bukti pengabdian terhadap suaminya.

Dalam sejarah Cina kuno, seorang anak perempuan tidak mendapat tempat yang wajar di dalam keluarganya. Mereka telah menderita sejak masa kanak-kanak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun