"Dokter, ini untuk Merah Putih (Indonesia)," kata Bambang Hendarso Danuri seperti ditulis ahli forensik Mun'im dalam bukunya: "Indonesia X-Files".
Dalam buku itu, Mun'im mengaku ditelepon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri  Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Mun'im diundang datang oleh Bambang yang kerap disapa BHD ke Mabes Polri untuk membicarakan kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib yang tewas akibat racun arsenik pada 7 September 2004.
"Lho, kenapa Pak?" tanya Mun'im bingung.
"Kalau kita tidak bisa memasukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok," jelas BHD seperti yang dituturkan Mun'im dalam bukunya.
Mun'im yang kemudian menyetujui untuk terlibat dalam pengungkapan pembunuhan Munir mengungkapkan sejumlah kejanggalan. Menurutnya, kejanggalan kasus pembunuhan Munir itu sudah bisa diketahui dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Sebab, dari sekian banyak CCTV, hanya 2 yang aktif. Operatornya sedikit.
Selain itu, Mun'im juga melihat kejanggalan pada surat perintah dari maskapai Garuda Indonesia kepada Pollycarpus Budihari Priyanto yang ikut penerbangan dari Indonesia menuju Singapura.Â
"Mengapa surat perintah yang dikeluarkan untuk teknisi, padahal dia pilot?" tanya Mun'im dalam bukunya.
Mun'im juga mencurigai penundaan beberapa kali penerbangan Garuda bernomor GA 794 dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta ke Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda.
"Ternyata hal itu terjadi menunggu pesawat garuda dari Singapura. Pesawat tersebut berisi Pollycarpus. Jadi dia dipersiapkan di sana."
Pollycarpus Budihari Priyanto kemudian divonis 20 tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti meracuni Munir menggunakan arsenik saat berada di Cafe Bean Singapura.Â
"Dalam pandangan saya, Munir sengaja digiring ke Cafe Bean dan di situlah arseniknya diberikan," tulis Mun'im.Â